Kabar24.com, JAKARTA— Menarik mencermati larangan parpol berkonflik menjadi peserta pilkada serentak, karena sangat berpotensi mengubah peta perpolitikan nasional.
Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) yang telah disetujui melalui pleno internal itu, semakin menjadi ancaman bagi Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang hingga saat ini masih terbelah menjadi dua.
Sesuai dengan PKPU, Golkar dan PPP tak bisa ikut pilkada sebelum mempunyai pengurus berkekuatan hukum tetap, atau menempuh jalan islah.
PKPU itu dinilai tak wajar oleh DPR, karena sebelumnya Panja Pilkada Komisi II DPR telah memberi rekomendasi kepada KPU. Isinya, meminta KPU untuk memasukkan klausul: parpol berkonflik boleh menjadi peserta pilkada hanya dengan putusan terakhir pengadilan.
Namun apa lacur, KPU mementahkan rekomendasi itu. Alasannya, KPU tak ingin terjebak dan terseret dalam pusaran konflik dualisme kepengurusan Golkar dan PPP.
“Kami menetapkan, hanya pengurus yang yang sah dan berkekuatan hukum tetap yang bisa ikut pilkada,” kata Ida Budiati, salah satu Komisioner KPU, Kamis (14/5/2015).
Jajaki Islah
Atas larangan itu, PPP kubu Romahurmuziy atau biasa disebut hasil Muktamar Surabaya, Jawa Timur, sudah berkeinginan menjajaki islah dengan kubu Suryadarma Ali, hasil Muktamar Jakarta, yang kini diwariskan kepada Djan Faridz.
“Kami sudah menjajaki islah demi kepentingan Pilkada,” kata Arsul Sani, Wakil Sekretaris Jenderal PPP kubu Romy, sapaan akrab Romahurmuziy.
Tapi, langkah positif yang diambil PPP untuk menyelamatkan kepesertaannya dalam pilkada justru tak diikuti Golkar. Pengurus Golkar kubu Agung Laksono dan kubu Aburizal Bakrie (Ical) masih sama-sama kukuh dengan pendirian masing-masing, tak mau akur hanya karena ambisi jabatan ketua umum.
Merasa banyak kawan di Dewan, Golkar kubu Ical justru memutuskan meminta bantuan kepada Dewan untuk mendesak KPU agar memasukkan rekomendasi panja dengan jalan merevisi UU Pilkada sebagai payung hukumnya.
“Kami minta klausul rekomendasi panja dimasukkan. Kami akan revisi UU Pilkada,” kata Rambe Kamarulzaman, Ketua Komisi II yang juga kader Golkar dari kubu Aburizal Bakrie (Ical).
Tekan KPU
Tak lama, Ketua Komisi II dan Golkar yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP) lantas mengadu ke pimpinanDewan. Alhasil, Ketua DPR Setya Novanto, yang juga Wakil Ketua Umum Golkar kubu Ical lantas memerintahkan berkonsultasi dengan pemerintah.
Bahkan selama masa reses, Komisi II DPR yang berkepentingan dengan pilkada, serta pimpinan DPR yang seluruhnya tersusun atas kader KMP memanggil Ketua dan Komisioner KPU.
Semua dihadirkan untuk fokus membicarakan ancaman KPU kepada dua parpol itu. Saat berbincang, KPU sebagai penyelenggara pemilu itu terus ditekan mengubah PKPU agar Golkar dan PPP tetap bisa menjadi peserta pilkada.
Namun, KPU tetap kukuh pendirian dengan tidak mau mengubah PKPU. Alasannya, KPU adalah lembaga mandiri yang tidak bisa diintervensi pihak mana pun dalam menentukan aturan.
Tak puas dengan sikap KPU, Dewan lantas memanggil Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo. Sikap yang sama dilakukan Tjahjo saat diundang membicarakan PKPU.
Dia kukuh tak mau cawe-cawe jika KPU sebagai penyelenggara pilkada juga tak mau ikut membahas.
“Selain itu, kita tunggu saja respons Presiden Joko Widodo (Jokowi) [membahas revisi UU Pilkada]. Jokowi sebagai penentu akhir,” papar Tjahjo.
Suara Hilang
Atas penolakan secara tegas dari KPU dan Mendagri, nasib Golkar yang tak kunjung menginisiasi islah kian diujung tanduk. Kepala daerah incumbent yang berasal dari Golkar terancam tak bisa ikut pilkada serentak gelombang I yang jika tidak ada aral melintang akan digelar pada 9 Desember 2015.
Namun, masih ada jalan bagi incumbent jika ingin tetap maju dalam pilkada. Jalan pintasnya, mereka bisa hengkang, lantas bergabung dengan parpol dengan platform yang sama.
Tapi, langkah menyeberang ke parpol lain itu jelas sangat berisiko menggerus suara Golkar dalam perolehan Pemilu Legislatif (Pileg) mendatang. Bagaimana tidak, kepala daerah yang biasanya menjadi magnet elektoral di daerah tak lagi berada di Golkar.
Siti Zuhro, Peneliti Politik dari Lembaga Ilmu dan Pengetahuan Indonesia (LIPI) angkat bicara soal ancaman tergerusnya suara Golkar akibat implementasi PKPU.
“Perolehan suara Golkar dalam Pileg 2014 sebanyak 14,75% suara itu bisa tergerus hanya karena absen dalam Pilkada 2015,” katanya.
Atas absennya Golkar dalam Pilkada, lanjutnya, ada banyak parpol yang diuntungkan.
“Terutama PDIP sebagai musuh bebuyutan Golkar,” katanya.
Suara Golkar di daerah bisa saja melayang ke parpol peraih suara lima tertinggi dalam Pileg 2014, antara lain ke PDIP dengan 18,95% suara; Gerindra dengan 11,81% suara; Partai Demokrat yang baru saja mengukuhkan kembali Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai Ketua Umum dengan 10,19% suara, dan Partai Nasdem dengan 6,72% suara.
Untuk itu, perlu solusi supercepat dan bukan hanya fokus untuk menyelamatkan nasib para kepala daerah incumbent yang ingin mencalonkan lagi, tetapi untuk mempertahankan perolehan suara Golkar dalam Pileg 2019.