Bisnis.com, JAKARTA - Sejumlah kalangan menuntut kepada Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP) yang masih berseteru di DPR harus segera menuntaskan masalah secara realistis menyusul sejumlah kerugian yang berisiko dialami rakyat dan negara.
Pakar hukum tata negara Jimly Asshiddiqie mengatakan konflik DPR akibat ulah kedua kubu yang awalnya terbentuk lantaran aksi dukung mendukung calon presiden itu membuat struktur alat kelengkapan dewan (AKD) di DPR menjadi tidak beraturan.
“Dengan tidak beraturannya struktur AKD, kinerja DPR yang fungsinya a.l. membahas anggaran negara dan merumuskan sejumlah aturan dan untuk kepentingan rakyat dan negara belum terlaksana dengan baik,” katanya kepada Bisnis, Jumat (14/11/2014).
Untuk anggaran negara, paparnya, publik berisiko tidak akan menerima program baru apapun dari pemerintahan Presiden Joko Widodo karena pembahasan anggaran kementerian di DPR pasti buntu. "Belum lagi kementerian dengan nomenklatur baru. Bagaimana mereka bisa jalan jika masih memakai APBN lama."
Pakar tata negara yang pernah menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfudz MD menegaskan saat ini kementerian dalam Kabinet Kerja besutan Jokowi masih belum bekerja. "Mereka masih menunggu DPR bersatu untuk membicarakan APBN. Karena jika bekerja dengananggaran lama, kementerian baru atau yang nomenklaturnya diubah berisiko berurusan dengan KPK," katanya.
Selain itu, Mahfud DPR harus segera bekerja sama dengan pemerintah untuk segera membahas RUU yang sempat tertunda. “DPR harus memprioritaskan pembahasan RUU tersebut karena rakyat dan negara sangat memerlukan beleid itu.”
Sesuai dengan data Sekretariat Jenderal DPR, masih ada 26 RUU yang belum tuntas dibahas dalam program legislasi nasional (prolegnas) periode 2009-2014. Sebanyak 26 RUU itu a.l. RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat dan Tabungan Perumahan Rakyat.
Selain itu, RUU tentang Bantuan Hukum, Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal, serta Perppu Pilkada. “Namun jika DPR masih terbelah, saya yakin mereka tidak akan bisa menyelesaikan pembahasan RUU tersebut,” ujar Siti Zuhro, peneliti politik LIPI.
Sementara itu, pakar hukum tata negara Refly Harun mengatakan jika masih terbelah menjadi dua kubu, DPR akan sulit menghasilkan produk undang-undang. “Karena masing-masing kubu mempunyai kekuatan sama, lima fraksi,” kata Refly.
Hingga saat ini, meski kedua pihak yang berseteru sudah menyebut adanya deal islah, namun keduanya masih dipusingkan oleh polemik permintaan KIH terkait dengan pengubahan hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat dari komisi yang tertuang dalam UU No. 17/2014 tentang MD3 dan Peraturan DPR No. 1/2014 tentang Tata Tertib. KIH menilai sejumlah hak itu berisiko terhadap jalannya pemerintahan.
Alhasil, kedua kubu kian sengit berpolemik. Kubu KMP kukuh membantah pendapat KIH lantaran sejumlah hak tersebut merupakan hak mutlak yang dimiliki DPR atas fungsi pengawasan terhadap pemerintah. “UUD 1945 pun mengaturnya. Jadi tidak mungkin diutak-atik,” kata Fadli Zon, Wakil Ketua DPR sekaligus politikus Gerindra.