Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

10 Paradoks Pemerintah SBY Versi SETARA Institue

Organisasi nonprofit Setara Insitute merilis 10 pernyataan yang bertentangan terkait dengan a.l. demokrasi, hak bersuara, pemberantasan korupsi, dan HAM dalam pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Susilo Bambang Yudhoyono/Bisnis.com
Susilo Bambang Yudhoyono/Bisnis.com

Bisnis.com, JAKARTA - Organisasi nonprofit Setara Insitute merilis 10 pernyataan yang bertentangan terkait dengan a.l. demokrasi, hak bersuara, pemberantasan korupsi, dan HAM dalam pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Hendardi, Ketua Badan Pengurus SETARA Institute, menegaskan ada 10 paradoks dalam pemerintahan SBY.

“Ini masalah yang seolah-olah bertolak belakang dengan kebijakannya,” katanya kepada pers, Senin (13/10/2014).

Setara Institute mencatat paradoks tersebut a.l. SBY dalam menjalankan demokrasi lantaran telah mempelopori pilkada langsung, memberikan jaminan kebebasan pers, kebebasan berekspresi, dan kebebasan berserikat.

Atas prestasi itu, sebenarnya terdapat sejumlah paradoks yang sebenarnya sulit dipahami dalam konteks demokrasi. Pada masa SBY pula sejumlah UU diproduksi yang justru mengebiri demokrasi: UU Informasi Transaksi Elektronik (ITE) yang memakan banyak korban, UU Ormas, UU Intelijen yang potensial mengganggu prinsip kepastian hukum dan due process of law.

Sementara itu, dalam pilkada langsung, SBY pula yang memangkasnya, karena dukungan Partai Demokrat pada Pilkada tidak langsung. Meski akhirnya SBY mengeluarkan perppu, semua itu hanya didesain untuk menciptakan ruang-ruang baru transaksi politik untuk memperoleh benefit politik dan posisi politik tertentu.

Selanjutnya paradoks dalam memberantas korupsi, papar Bonar Tigor Naipospos, Ketua Badan Pengurus Setara Institute.

Dengan menggunakan jargon ‘Katakan Tidak pada Korupsi!’, justru kader-kader Partai Demokrat banyak yang terjerat kasus korupsi. Dimulai dengan ditangkapnya Nazaruddin, Angelina Sondakh, Andi Malarangeng, Anas Urbaningrum, dan Jero Wacik.

Paradoks ketiga, pemimpin paling toleran terhadap intoleransi. Sama seperti isu demokrasi di negara muslim terbesar, isu toleransi juga menjadi kapital politik kepemimpinan SBY dalam diplomasi internasional.

Laporan Setara Institute yang dibuat sejak 2007 misalnya, setiap tahun rata-rata terdapat 200 peristiwa pelanggaran. Sebagian besar peristiwa itu tidak pernah mendapatkan penanganan hukum yang berarti. “Toleransi SBY juga tidak teruji saat menghadapi desakan pembubaran Ahmadiyah.”

Paradoks keempat, SBY dianggap sebagai penganut politik impunitas pada pelanggaran HAM. Berbagai kekerasan yang terjadi di Papua, kekerasan atas nama agama, hilangnya rasa aman warga, kemiskinan, tidak tersedianya akses kesehatan, pendidikan, dan lain-lain adalah pelanggaran HAM.

Paradoks kelima kebebasan berekspresi yang dibelenggu dengan UU ITE. Klaim bahwa kebebasan berekspresi telah dijamin oleh UU di masa SBY, sesungguhnya menyisakan ruang represi yang serius. Paradoks kebebasan ini terbelenggu oleh UU 11/2008 tentang ITE. “UU ini memuat jerat pidana bagi pengguna media elektronik termasuk media sosial.”

Menurut catatan ICT Watch, terdapat 32 korban dengan tuduhan pencemaran nama baika.l. Alexander An, yang divonis 2,5 tahun akibat memposting kalimat yang menunjukkan dirinya atheis, ada dosen Universitas Malikussaleh Lhokseumawe, Mirza Al Fath yang juga dikucilkan karena mengaku atheis, Prita Mulyasari vs RS Omni Internasional, Benny Handoko vs Misbakhun, Muhammad Arsyad vs Abdul Wahab adik Nurdin Halid, terakhir adalah Florence Sihombing yang di-bully masyarakat Yogyakarta dan sempat mendekam di tahanan dan diskors dari FH UGM.

Paradoks keenam, presiden yang paling sering diancam. Tidak hanya sekali SBY mempermalukan kinerja intelijen negara. “Pada 17 Juli 2009 ketika ada ledakan bom di Hotel JW Marriot, SBY menyebutkan bahwa bom tersebut berkaitan dengan Pilpres 2009. Juga ketika SBY mengatakan bahwa Jokowi dan Prabowo juga dalam ancaman saat menjelang Pilpres 2014.”

Paradoks ketujuh, pembangunan bidang kesehatan yang tidak membuat rakyat sehat. Dalam hal ini, SBY hanya memperoleh laporan pembangunan fisik dan pengadaan tenaga medis tetapi tidak memperoleh laporan jujur tentang kualitas layanan kesehatan. “Buktinya, dimana-mana masih dijumpai betapa sulitnya rakyat miskin menjangkau layanan kesehatan.”

Paradoks kedelapan, lanjut Ismail Hasani, Direktur Riset Setara Institute, anggaran pendidikan yang tidak mencerdaskan. Anggaran tersebut didominasi untuk pembangunan fisik.

Dua periode kepemimpinan SBY-Boediono, selama 10 tahun tidak meninggalkan warisan yang berharga di sektor pendidikan.

Paradoks kesembilan, go green dan eksploitasi lingkungan yang terus berlangsung. Namun, mengutip catatan Walhi pada 2014, kerusakan lingkungan hidup semakin massif dan ditandai dengan bencana ekologis dengan sebaran 1.392 bencana ekologis dengan sebaran yang terkena bencana 6.727 desa pada tahun 2013.

Paradoks terakhir atau kesepuluh, mematikan pengusaha tambang skala kecil, memberi previlege bagi Newmont dan Freeport. “Bahkan kedua perusahaan ini, setelah renegosiasi kontrak selesai, dan berkomitmen membangun smelter kemudian memperoleh keistimewaan dengan tetap diperbolehkan melakukan ekspor dengan bea keluar 7,5% tanpa pembangunan smelter.”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Sepudin Zuhri

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper