Bisnis.com, AMBON - Mendengar atau membaca kata 'cacing' sejumlah orang akan bergidik, apalagi membayangkan sedang memakannya.
Namun, di Ambon serta Lombok ada cacing laut yang kerap dikonsumsi masyarakat dan ternyata memiliki kandungan zat yang sangat bermanfaat bagi manusia.
Sebagian besar masyarakat Indonesia belum mengetahui tentang manfaat cacing laut, kata Peneliti Balai Konservasi Biota Laut LIPI Ambon Joko Pamungkas, di Ambon, Senin (24/3/2014).
"Belum banyak yang tahu, apalagi masyarakat di Indonesia bagian barat, selama ini yang diketahui hanyalah ada cacing laut yang bisa dimakan tapi tidak tahu seperti apa bentuknya atau pemanfaatannya bagaimana," kata Joko.
Joko mengatakan berdasarkan analis proksimat yang dilakukannya, cacing laut atau polychaeta kaya protein, namun hingga kini hanya orang Maluku yang banyak memanfaatkannya sebagai lauk.
"Biasanya orang Maluku mengenal panen laor dengan timba laor, pada dua hari sesudah purnama. Untuk di Pulau Ambon sendiri, kita bisa menemukannya di Desa Alang, Liliboi, Latuhalat, Hutumuri dan beberapa kawasan lainnya," kata Joko.
Lebih lanjut ia mengatakan, polychaeta hidup dalam terumbu karang pada pantai tropis yang berada dekat dengan Samudera Pasifik.
Di Indonesia sendiri ada beberapa daerah yang diketahui menjadi habitat biota laut tersebut, di antaranya Maluku dan Lombok.
Di Maluku, cacing laut tersebut dikenal dengan nama laor, sedangkan di Lombok bernama nyale. Sejauh ini yang paling banyak diteliti adalah yang berada di Maluku.
"Belum ada bahasa Indonesia baku untuk nama hewan ini, biasanya tiap daerah memiliki nama tradisionalnya. Kalau di Maluku ada 54 jenisnya tapi Palola viridis dan Lysidice oele yang paling dominan," ucapnya.
Menurut Joko, polychaeta yang berada di perairan Maluku, pertama kali diteliti oleh Rumphius, seorang peneliti Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) keturunan Jerman, dalam Ekspedisi Rhumpius III pada 1977.
Penelitian lanjutan yang lebih mendalam terhadap polychaeta secara keseluruhan baru dilakukan peneliti Jerman lainnya pada 1995.
"Tahun 1995 ada seorang peneliti Jerman yang berhasil menemukan 13 jenis Polychaeta yang lain, sayangnya tulisannya itu ditulis dalam bahasa Jerman dan hanya tersimpan di museum Hamburg, jadi tidak banyak yang tahu ada temuan itu," ujar Joko.