Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

17 Pengacara Gugat Perppu MK

Sebanyak 17 pengacara yang tergabung dalam Forum Pengacara Konstitusi mengajukan uji materi (menggugat) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Mahkamah Konstitusi, Rabu.

Bisnis.com,  JAKARTA-- Sebanyak 17 pengacara yang tergabung dalam Forum Pengacara Konstitusi mengajukan uji materi (menggugat) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Mahkamah Konstitusi.

"Jika perppu hanya dimaksudkan untuk mengatur mengenai syarat dan mekanisme pemilihan dan pengawasan hakim konstitusi, maka hal itu sama sekali tidak memenuhi kebutuhan hukum dapat dilahirkannya perppu berupa kegentingan yang memaksa," kata perwakilan 17 pengacara Konstitusi, Robikin Emhas saat mendaftarkan gugatan di Gedung MK, Jakarta.

Ke-17 pengacara itu antara lain, Andi Muhammad Asrun, Samsul Huda, Hartanto, Iwan Gunawan, Unoto, Jodi Santoso, Mukhlis Muhammad Maududi, Nurul Anifah, Heru Widodo, Dorel Almir, Supriadi Adi, Daniel Tonapa Masiku, Robikin Emhas, Sugeng Teguh Santoso, Syamsuddin, Dhimas Pradana, Syarif Hidayatullah.

Robikin mengatakan Presiden memang berhak menerbitkan perppu, karena Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 berbunyi dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan perppu. Namun, UUD 1945 tidak menentukan apa yang disebut dengan kegentingan yang memaksa itu.

Sehingga Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 tanggal 8 Februari 2010 menentukan tiga syarat agar suatu keadaan secara objektif dapat disebut sebagai kegentingan yang memaksa.

Ketiga syarat tersebut antara lain pertama, adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang.

Kedua yakni undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai.

Sedangkan ketiga yakni, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memakan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

"Pertanyaannya kemudian, apakah setelah penangkapan Akil Mochtar oleh KPK telah mengakibatkan terjadinya kegentingan yang memaksa, sehingga untuk mengatasi dan menyelesaikan keadaan tersebut perlu dibuat perppu," ujar Robikin.

Lebih jauh Robikin mengatakan bahwa pihaknya menilai Perpu tentang MK cacat hukum baik dari segi formil maupun materiil.

Dari segi formil, selain tidak memenuhi unsur kegentingan yang memaksa, perppu juga dikeluarkan dikala DPR tidak sedang reses. Padahal menurut dia, perppu hanya bisa dibuat pemerintah apabila DPR sedang reses.

Selain itu, Perppu tentang MK menyinggung bermacam lembaga negara seperti MK, KY, Presiden, DPR, Kekuasaan Kehakiman, dan MA, namun faktanya perppu hanya mengacu kepada perubahan UU MK.

"Pada bagian menimbang di dalam perppu juga terdapat kata pasal yang selayaknya tidak dicantumkan. Serta ketidakjelasan daya berlaku perppu terhadap implikasinya bagi eksistensi delapan hakim konstitusi yang dua di antaranya berasal dari partai politik," papar dia.

Sedangkan dari sisi materiil, substansi perpu cenderung lebih bersifat perbaikan di masa depan dan tidak mendesak dilakukan. Jika demikian, menurut Robikin, maka sebaiknya pemerintah tidak mengeluarkan perppu, melainkan hanya merevisi UU MK saja.

Adapun dalam permohonannya 17 pengacara berharap Majelis Hakim Konstitusi menyatakan Perppu tentang MK bertentangan dengan UUD 1945, serta tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

"Kami memohon Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya, serta memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia," ucap Robikin.

Sebelumnya, langkah menggugat Perppu MK juga telah dilakukan praktisi hukum sekaligus kader Partai Gerindra Habiburokhman. Dalam permohonan uji materinya, Habiburokhman menilai perppu itu inkonstitusional.

Perppu MK sendiri diterbitkan pemerintah setelah ditandatangani Presiden Susilo Banbang Yudhoyono di Istana Kepresidenan, Gedung Agung, Yogyakarta pada 17 Oktober 2013, sebagai langkah pemerintah menyelamatkan wibawa Mahkamah Konstitusi pasca-penangkapan Ketua MK (nonaktif) Akil Mochtar oleh KPK.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Ismail Fahmi
Editor : Ismail Fahmi
Sumber : Newswire

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper