Bisnis.com, JOGJA—Para direksi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kerap dalam posisi dilematis. Di satu sisi dia dituntut untuk mencari keuntungan, namun ketika keputusan bisnis yang diambil salah dianggap merugikan Negara dan diancam dengan Undang-undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Demikian diungkapkan Direktur Utama Perum Percetakan Uang (Peruri), Prasetio dalam desertasi untuk meraih gelar doktor di Fakutas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM). Dalam sidang terbuka di Fakultas UGM Sabtu (21/9/2013) Prasetio berhasil mempertahankan desertasinya di depan tim penguji dan dinyatakan lulus sebagai doktor dengan cumlaude.
Prasetio mengambil desertasi dengan judul Penerapan Business Judgment Rule dalam Restrukturisasi Transaksi Komersial PT (Persero) Berdasarkan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. Prasetio merupakan doktor ke 90 yang diluluskan FH UGM dan doktor ke 2.043 yang diluluskan dari UGM.
Menurutnya, ketika direksi mengambil keputusan akan mengandung implikasi bisnis dan hukum. "Jika ternyata keputusan itu membuat BUMN gagal atau merugi yang dimunculkan, maka tidak bisa dituntut dengan UU Tipikor/”
Karena dalam dunia bisnis ada aturan busisess judgmen rule (BJR) yang mengatur tentang sanksi kepada direksi. Dan dalam UU PT, soal BJR itu juga sudah diatur. ”Kecuali direksi melakukan penggelapan maka dia diajukan ke polisi dalam ranah pidana umum. Atau jika dia menyuap maka dia bisa dikenai UU Tipikor.”
Sayangnya, menurut Prasetio, pelaksanaan BJR ini tidak tegas di Indonesia. Banyak terjadi direksi BUMN yang mengambil keputusan bisnis kemudian ditangkap dan diadili dalam kasus korupsi. Padahal keputusan diambil murni untuk kepentingan usaha lembaga yang dia pimpin.
Dia mencontohkan kasus yang menimpa tiga pejabat PT Telkom yang sudah divonis bersalah, namun kemudian diajukan banding untuk peninjauan kembali (PK). Mereka dianggap merugikan negara karena memberlakukan tarif paket yang nilainya di bawah peraturan Kemenhub.
Padahal, keputusan itu diambil karena jika mengacu pada aturan Kemenhub dan penjualan dilakukan secara retail tidak akan laku. ”Tetapi kemudian selisih antara tarif Kemenhub dan yang diberlakukan dianggap sebagai kerugian negara. Ini tidak relevan. Keputusan yang diambil semata-mata demi kebaikan lembaga,” ujarnya. Kasus yang sama juga terjadi di PT Pos Indonesia dan PT Merpati Nusantara.
Karena kondisi seperti ini maka banyak direksi BUMN yang kemudian bimbang. Mereka dituntut untuk mencari keuntungan tetapi juga bisa diancam penjara karena tuduhan korupsi.
”Ini saya rasakan ketika enam tahun di Telkom. Investasi sangat lambat karena direksi takut mengambil keputusan bisnis,” tambahnya kepada wartawan usai sidang.
Prof Nindyo Pramono, Promotor Utama desertasi mengakui apa yang disampaian Prasetio benar. ”Pemerintah inginnya BUMN untung tetapi ketika ada risiko bisnis ancamannya penjara. Padahal jika diterapkan BJR direksi itu bisa saja dimiskinkan sebagai bentuk hukuman.”
Baik Prasetio maupun Nindyo mengatakan harus ada upaya penerapan BJR yang tegas. Dan ini kerap terhalang disharmonisasi aturan.
”Soal modal pemerintah di BUMN misalnya. Dalam UU PT itu merupakan kekayaan negara yang dipisahkan. Tetapi dalam UU Kekayaan Negara masih menjadi bagian negara. Ini jadi masalah,” tegas Nindyo.
Prof Edward O.S Hiariej, salah satu tim penguji kepada wartawan mengatakan deserasi Prasetio cukup menarik dan tidak bisa dikatakan sebagai upaya melindungi koruptor. ”Tidak [melindungi] tetapi justru menempatkan masalah sesuai tempatnya." (Amiruddin Zuhri/Harian Jogja))