Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Membangkitkan Kenangan Manis Negeri Agraris

Bisnis.com, JAKARTA - Indonesia tampaknya mesti bersiap-siap menanggalkan julukan negara agraris yang selama ini melekat. Kekhawatiran itu tidak berlebihan karena fakta dan data telah membeberkan bahwa sektor pertanian yang menjadi basis munculnya julukan

Bisnis.com, JAKARTA - Indonesia tampaknya mesti bersiap-siap menanggalkan julukan negara agraris yang selama ini melekat. Kekhawatiran itu tidak berlebihan karena fakta dan data telah membeberkan bahwa sektor pertanian yang menjadi basis munculnya julukan itu kini tengah dalam fase kritis.

Apakah negeri ini salah urus? Negeri yang subur, ijo royo-royo, iklim tropis tidak bisa memenuhi sendiri pangan bagi warga negaranya. Kita masih meng-import beras, buah, kedelai, daging serta kebutuhan pangan lainnya dari negara lain. Apakah era swasembada pangan Indonesia telah berlalu? Seperti apa yang pernah dicapai pada kurun 1984.

Indonesia sudah mencapai swasembada beras lagi sejak 2004. Definisi swasembada beras adalah mencukupi 90 persen kebutuhan beras dari dalam negeri. Impor beras dalam kurun waktu 2005 hingga 2006 berjumlah kurang dari satu persen produksi beras nasional.

Namun permasalahan yang sebenarnya bukan cuma lahannya yang terus tersedot, sektor pertanian juga mulai ditinggalkan pelakunya dalam jumlah yang masif. Menurut Badan Pusat Statistik dalam Sensus Pertanian 2013, hanya dalam satu dekade, ada sekitar 5,04 juta rumah tangga yang berhenti menggantungkan hidup dari usaha pertanian.

Dengan demikian, kini jumlah rumah tangga pertanian tinggal 26,13 juta dari sebelumnya 31,17 juta pada 2003. Laju penurunannya mencapai 1,75% per tahun. Jika dibandingkan dengan total penduduk Indonesia yang tahun ini diperkirakan 250 juta, jumlah keluarga petani itu tak sampai 11%.

Menurut BPS, penghasilan yang murah di sektor pertanian dituding sebagai salah satu alasan utama para pekerja tani memilih pindah profesi. Kenyataan itu semakin menegaskan bahwa memang harus ada pengelolaan yang serius sektor pertanian di Indonesia.

Keberpihakan pemerintah terhadap sektor pertanian diperkuat dan didukung semua pihak. Alih fungsi lahan pertanian tidak boleh dibiarkan tanpa kendali serta dukungan pemerintah terhadap pengembangan infrastruktur pertanian harus ditingkatkan.

Mata rantai tata niaga pertanian harus dipangkas sehingga petani dapat menikmati harga tinggi karena keuntungan besar dari penjualan hasil pertanian tidak dirampas dan hanya dinikmati pedagang.

Pertanian tidak kehilangan perhatian dan harus mempunyai kekuatan sendiri dengan modal yang cukup. Produk dari sektor pertanian dalam negeri mesti tidak boleh kalah menghadapi gempuran produk pertanian impor.

Untuk mewujudkan hal itu ada baiknya Indonesia, belajar dari Thailand yang karena komitmen yang kuat dari segenap kekuatan warga negara, pemerintah dan semua elemennya, kita bisa melihat sekarang bahwa Thailand telah menjadi kekuatan luar biasa bagi ekonomi asia tenggara maupun asia.

Hanya dengan kemauan, kesadaran dan komitmen yang kuat untuk membangun AGROKOMPLEK (pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan) dari semua unsur di ataslah negara Thailand telah berubah menjadi The Kitchen Of World.

Secara SDM, jelas Indonesia lebih potensial, secara SDA apalagi, modal sudah kita miliki. Sekarang tinggal kemauan, kesadaran, dan komitmen yang kuatlah yang akan mensejajarkan negara ini dengan negara maju lainnya.

 

Pengirim:

Teguh Pujonugroho
Jl. Serayu, No.19 Madiun, Jawa Timur

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper