Tidak terasa, seminggu lagi tahun ajaran baru bagi siswa TK hingga sekolah menengah sudah dimulai. Sebagian dari kita sudah merasakan hiruk-pikuk tahun ajaran baru dengan mencari sekolah baru untuk anak masing-masing.
Yang menarik, hari pertama masuk sekolah 15 Juli nanti akan menjadi hari pertama diberlakukannya kurikulum pendidikan baru, Kurikulum 2013. Pemberlakuan kurikulum baru ini sempat menuai kontroversi, baik soal isi kurikulum itu sendiri maupun waktu implementasinya.
Wajar saja, Kurikulum 2013 dapat dikatakan program kilat, mengingat semenjak ide mengenai perlunya perubahan kurikulum pendidikan yang masih berlaku hingga disetujuinya pemberlakuan Kurikulum 2013 sangat singkat, tidak sampai 1 tahun.
Kalau tidak salah ingat, pemaparan disain Kurikulum 2013 kepada Wakil Presiden serta Komisi X DPR baru dilakukan November 2012. Lantas dilakukan sosialisasi dan mencari masukan dari berbagai pihak. Baru pada akhir Mei 2013, penerapan Kurikulum 2013 disetujui dan mulai diberlakukan 15 Juli 2013.
Mungkin isi teks Proklamasi menginspirasi para petinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, bahwa hal-hal menyangkut perubahan kurikulum akan diberlakukan dalam waktu tempo sesingkat-singkatnya.
Lantas apa bedanya Kurikulum 2013 dengan sebelumnya? Menurut Kemendikbud, inti dari Kurikulum 2013, ada pada upaya penyederhanaan, dan tematik-integratif. Kurikulum 2013 disiapkan untuk mencetak generasi yang siap menghadapi masa depan.
Titik beratnya, mendorong siswa mampu lebih baik dalam melakukan observasi, bertanya, bernalar, dan mengkomunikasikan apa yang mereka peroleh setelah menerima materi pembelajaran. Adapun obyek yang menjadi pembelajaran dalam penataan dan penyempurnaan kurikulum 2013 menekankan pada fenomena alam, sosial, seni, dan budaya.
Jelas tujuan yang sangat mulia itu perlu didukung. Persoalannya, apakah sekolah, lebih tepatnya para guru, sudah siap menerapkan kurikulum baru itu?
Memang belum semua sekolah akan menerapkan Kurikulum 2013, tergantung pada kesiapan sekolah tersebut. Menurut data Kementerian Pendidikan, setidaknya ada 6.325 sekolah yang dianggap siap, dari sebelumnya 6.410 sekolah. Di Kota Solo sendiri, berdasarkan data Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Solo, tercatat hanya 12 SD, enam SMP, enam SMA dan delapan SMK yang ditunjuk Kemendikbud menjadi penyelenggara Kurikulum 2013.
Pengurangan jumlah sekolah ini, menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh, disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi yang ada. Meski jumlah sekolah yang menerapkan Kurikulum 2013 hanya sedikit, Nuh enggan menyebutnya sebagai bentuk uji coba.
"Kalau kita pakai uji coba, kami juga habis. Ini bukan kelinci, ini anak manusia. Kok pakai coba-coba. Akhirnya kami mengambil jalur diambil secara bertahap dan size-nya juga terbatas seperti ini," kata Nuh saat rapat kerja dengan DPR, Mei lalu.
Sepakat Pak Menteri. Penerapan kurikulum pendidikan baru memang tidak seharusnya sebuah uji coba. Penetapan kurikulum pendidikan seharusnya dilakukan dengan persiapan yang matang dan melibatkan banyak pihak sehingga bila saatnya diimplementasikan, maka semua pihak terkait sudah benar-benar siap.
Bila tidak, maka adagium bahwa ganti menteri ganti kurikulum akan semakin sah saja. Apalagi tahun depan dapat dipastikan ada menteri pendidikan baru. Apakah menteri baru tetap akan menggunakan Kurikulum 2013 atau membuat yang baru lagi?
America 2000
Saat Kemendikbud dan DPR ramai membahas rencana penerapan Kurikululum 2013 pada Mei 2013, kebetulan saya diundang oleh Intel--produsen chip komputer nomor satu dunia--untuk menghadiri Intel INternational Science and Engineering Fair (ISEF) 2013 di kota Phoenix, Arizona, Amerika Serikat. ISEF merupakan kompetisi sains antar pelajar SMA, yang diikuti sekitar 3.000 pelajar dari 70 negara.
Dalam kompetisi itu, Indonesia sendiri mengirim 5 pelajar SMA dari Jakarta dan Bogor sebagai peserta. Mereka dikirim setelah menjuarai kompetisi serupa yang digelar oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Saya kagum melihat karya-karya ilmiah yang disajikan oleh anak-anak SMA yang imut-imut dari berbagai negara itu. Berdasar ilmu yang saya pahami, tidak sedikit materi yang mereka sajikan sejajar dengan thesis mahasiswa S2, bahkan S3 di perguruan tinggi di Indonesia.
Setelah melalui serangkaian proses penilaian, akhirnya seperti diduga mayoritas penghargaan dalam ISEF itu diraih oleh anak-anak SMA Amerika Serikat, lantas Eropa serta beberapa negara Asia seperti India, Jepang dan China. Indonesia?Anda bisa menduga sendiri-lah.....
Melihat keberhasilan anak-anak SMA Amerika merajai kompetisi ISEF itu membuat ingatan saya melayang ke masa lalu, saat saya baru kuliah semester 2 sekitar tahun 1991. Saat itu saya membaca sebuah buku, judulnya sudah lupa namun ada bagian yang tetap membekas di benak saya.
Bab itu menceritakan kebijakan pendidikan Amerika saat dipimpin Presiden George Bush senior. Akhir periode 80-an, Bush memerintahkan menteri pendidikannya untuk merancang kurikulum pendidikan yang dapat memastikan Amerika Serikat tetap menjadi penguasa dunia pada abad 21.
Singkat kata, akhirnya pemerintah federal Amerika Serikat menerbitkan kebijakan pendidikan yang dikenal dengan America 2000, yang berisikan enam tujuan. Salah satu tujuan adalah bahwa setiap lulusan SMA di Amerika, harus menguasai enam mata pelajaran, yakni English, matematika, sains, sejarah dan geografi.
Penguasaan kelima subyek ilmu tersebut jelas merupakan kunci menguasai dunia. Memahami bahasa Inggris jelas, karena bahasa itu lingua franca di abad modern ini. Penguasaan matematika dan sains--khususnya fisika, kimia dan biologi--merupakan inti pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini, yang menjadi dasar kehidupan modern.
Menguasai ketiga bidang itu--English, matematika dan sains--disadari oleh banyak negara di dunia menjadi sebuah hal mendasar dalam pendidikan. Pun di Indonesia, berbagai kurikulum pendidikan yang ada selalu diarahkan ke penguasaan subyek-subyek tersebut. Kurikulum 2013 juga memberikan porsi yang cukup besar pada subyek matematika dan sains.
Lantas bagaimana dengan sejarah dan geografi, seperti ditetapkan dalam America 2000 itu?
Bagi saya, itulah kecerdasan para pemikir kebijakan pendidikan di negara adidaya itu. Untuk dapat menguasai dunia--atau tidak dikuasai oleh negara lain--jelas harus mengerti dan menguasai sejarah berbagai wilayah serta kondisi alam sekitar kita, yang semuanya dipelajari dalam ilmu geografi. Menguasai sejarah, artinya kita tidak mengulangi berbagai kesalahan masa lalu sehingga kita dapat merancang masa kini dan masa depan yang lebih baik.
Lantas, apa hasil dari America 2000? Kalau sekarang Anda berada di depan komputer dan Internet, masuk saja Google Earth. Aplikasi itu merupakan contoh kecil bagaimana perlunya penguasaan ilmu geografi. Penguasaan itu, beserta empat ilmu lainnya itu yang membuat anak-anak SMA Amerika merajai ISEF 2013 dan membuat negara itu tetap raja diraja dunia di abad 21 ini.
Bagaimana dengan kita? Apakah anak-anak SMA di Solo masih mengerti bagaimana kerajaan Mataram Islam bisa mencapai kejayaan dan akhirnya mengalami perpecahan sehingga akhirnya tinggal sisa-sisa di Kasunanan Solo, Kadipaten Mangkunegaran, Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman?
Juga apakah anak-anak SMA di Wonogiri memahami bahwa di bawah tanah di Randu Kuning, Selogiri mengandung emas yang sangat berlimpah? Kenapa sebuah perusahaan Australia, Augur Resources Ltd, yang harus demikian gencar melakukan eksplorasi dan nantinya mengeksploitasi?
Semoga saja penerapan Kurikulum 2013 bisa membantu menjawab semua pertanyaan itu. Bila tidak, ya anggap saja seperti biasanya, kurikulum baru hanya proyek bagi para pejabat yang berwenang dan seperti biasa ya kita semua obyek penderitanya...he.he..