BISNIS.COM, JAKARTA--Kelompok masyarakat adat di Kalimantan Timur terus menghadapi masalah penggusuran dan konflik lahan akibat operasi perusahaan pertambangan dan perkebunan. Pemegang saham perusahaan diminta memfokuskan pada soal dugaan pelanggaran hak asasi manusia terkait dengan investasinya.
Sejumlah kelompok adat itu adalah Dayak Basap Keraitan Segading yang hidup di sekitar wilayah tambang milik perusahaan Kaltim Prima Coal (KPC), Sangatta, Kutai Timur Sedangkan yang lainnya adalah Dayak Benuaq, di Muara Tae, Kutai Barat.
Andrew Hickman dari Down to Earth, sebuah organisasi lingkungan yang berbasis di Inggris, menyatakan masalah tersebut setelah menemui warga lokal dan masyarakat adat yang tinggal dekat dengan wilayah tambang KPC.
"Penduduk yang tinggal dekat kawasan tambang terus mengalami penggusuran, kehilangan nafkah serta dugaan kolusi perusahaan dengan aparat keamanan," kata Hickman dalam keterangan tertulisnya, Jakarta, Minggu, (30/6/2013)
Hikman yang bertemu komunitas itu pada awal bulan mengatakan, perusahaan tersebut juga diduga memiliki rencana untuk memindahkan masyarakat ke desa lainnya. Namun, demikian DTE, rencana itu ditolak masyarakat karena mereka tak menginginkan kehidupan mereka dari nol kembali.
aDAPUN konflik lainnya menimpa masyarakat Dayak Benuaq terkait dengan operasi perusahaan perkebunan First Resources Ltd. Konflik lahan itu juga memicu perebutan lahan dua kampung yakni Muara Tae dan Muara Ponaq.
Sekretaris Jendral Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Abdon Nababan mengatakan operasi PT Borneo Surya Mining Jaya (BSMJ), yang berafiliasi dengan First Resources, menyebabkan konflik. Hal itu tak hanya terjadi antara masyarakat dengan perusahaan, namun antar masyarakat sendiri.
“Ketegangan masih terus berlangsung antara kampung Muara Tae dan Muara Ponaq,” kata Abdon dalam keterangan tertulisnya.