BISNIS.COM, SEMARANG – Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono diharapkan segera mengambil keputusan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) demi menjaga stabilitas perekonomian nasional.
“Meskipun secara umum perekonomian Indonesia masih cukup optimistis, yang di dukung kuatnya konsumsi domestik, namun diwaspadai adalah persoalan penyebab defisitnya neraca perdagangan 2012,” ujar Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada (UGM) A. Tony Prasetiantono, disela acara Permata Bank, Indonesia Economic Outlook 2013, di Semarang, Selasa (26/3/2013).
Tony mengatakan salah satu penyebab utama defisitnya neraca perdagangan tersebut yakni membengkaknya impor minyak yang merupakan pertama kali dalam sejarah sejak 1961 lalu.
Menurutnya, secara umum perekonomian kita masih optimis, yang didukung kuatnya konsumsi domestik, yakni saat ini masih terdapat 150 juta penduduk Indonesia yang belanjanya antara US$2-US$20 per bulan, selain itu terdapat sekitar 5 juta orang yang belanjanya diatas US$20 per hari.
“Ini konsumsi yang sangat besar, hampir sama dengan jumlah penduduk Singapura, yang memiliki kemampuan membeli mobil mewah, real estate, dan apartement. Inilah yang mendorong perekonomian Indonesia. Pertumbuhan kelas menengahnya cukup pesat,” tuturnya.
Namun begitu, lanjutnya situasi defisit 2012 berbeda dengan 1961, dimana kala itu defisit disebabkan karena Indonesia banyak membangun infrastruktur sehingga perlu impor besar untuk persiapan ASEAN Game. Selain itu, lanjutnya kondisi mata uang rupiah terlalu kuat, sekitar Rp54, jadi over value.
“Sementara kondisi saat ini, naiknya impor karena produksi minyak dalam negeri turun dari biasanya 900.000 barel/hari menjadi 830.000 barel/hari. Selain itu pola konsumsi masyarakat yang cenderung boros, kemungkinan terjadinya penyelundupan BBM karena harganya terlalu murah dibandingkan negara tetangga,” ujarnya.
Jadi, pihaknya berharap pemerintah dalam hal ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) harus berani mengambil keputusan menaikkan harga BBM sesegera mungkin untuk memperbaiki kondisi tersebut.
“Untuk mengurangi resistensi atau gejolak, dapat memanfaatkan cara membagi harga premium menjadi tiga, jadi opsinya ada premium seharga Rp4.500/lt untuk sepeda motor, ada Rp6.000/lt untuk mobil, dan Rp10.000/lt (pertamax atau yang non subsidi sama sekali),” tuturnya.
Menurutnya, dengan langkah itu, minimal pemerintah akan mampu menghemat subsidi energi (minyak dan listrik) saat ini yang mencapai total sekitar Rp300 triliun, berkurang sekitar Rp50 triliun.
“Tapi kalau opsinya premium dinaikkan semua harganya Rp6.000/liter, baik untuk motor maupun mobil, penghematan akan semakin besar menjadi sekitar Rp70 triliun,” tuturnya.
Menurutnya, kalau pemerintah tahun ini tidak menaikkan harga BBM, diproyeksikan subsidi bakal membengkak hingga Rp320 triliun-Rp350 triliun. Padahal dana itu kalau untuk pembangunan infrastruktur, tentu akan sangat bermanfaat.
“Seperti pembuatan Jembatan Selat Sunda sekitar Rp200 triliun tidak perlu pinjam dari Jepang, pembangunan subway Blok M – Dukuh Atas yang perlu Rp27 triliun dan monorel sekitar Rp6 trilun-Rp7 triliun akan sangat mudah dipenuhi,” ujarnya.
Pihaknya juga tidak setuju apabila dinaikkan secara penuh tanpa subsidi sama sekali, tapi paling tidak mengurangi beban subsidi. Bahkan, seperti saat ini yang menahan kuota BBM saja cenderung jebol.
“Saat ini Pertamina menerapkan kuota bulanan, maka di sejumlah SPBU di beberapa wilayah terdapat kelangkaan, karena kalau diterpakan kuota tahunan, diprediksikan hanya akan bertahan sampai Oktober mendatang,” tuturnya.