BISNIS.COM, JAKARTA—Tim penyidik Mabes Polri masih melanjutkan proses penyidikan dan menganalisa hasil temuan sementara dalam tragedi pembantaian empat tahanan di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cebongan Sleman yang terjadi pada 23 Maret 2013.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Brigjen Boy Rafli Amar mengatakan sampai saat ini penyidik masih terus melanjutkan proses penyidikan tragedi pembantaian 4 tahanan di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cebongan Sleman yang terjadi pada 23 Maret 2013.
"Masih melanjutkan penyidikan. Masih mempelajari temuan-temuan yang diperoleh dari hasil pemeriksaan saksi maupun olah TKP [tempat kejadian perkara] yang dilakuan tim labfor [Tim Pusat Laboratorium Forensik Mabes Polri]," ujarnya hari ini, Selasa (26/3/2013).
Beberapa hal yang disidik antara lain selongsong, proyektil, dan penjelasan saksi dari sipir penjara maupun narapidana yang berada di sel-sel lain. "Hasilnya masih kita lakukan analisis."
Dia mengharapkan dari penjelasan saksi-saksi itu akan diperoleh petunjuk baru yang membantu penyidikan lebih terarah.
Menurutnya, proses penyidikan kasus itu tidak mudah, karena harus ada upaya pengumpulan fakta lebih akurat. "Bisa saja informasi akurat bukan di TKP, bisa saja di tempat lain yang katakanlah informasi terkait orang-orang yang mirip dengan yang dijelaskan di TKP," jelasnya.
Boy menambahkan semua sumber daya di Polri dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk melakukan pengungkapan. Sumber daya Polri itu termausk unsur-unsur yang diperbantukan Mabes Polri harus dimanfaatkan untuk mendukung. "Kita juga mengharap info dari masyarakat."
Menurutnya, peluru yang digunakan merupakan peluru yang lazim untuk senjata laras panjang. Namun, soal kaliber peluru, katanya, harus menunggu hasil dari Tim Labfor. "Misalkan kaliber 38 bisa dipakai untuk merek SNW. Jadi kaliber segitu, tetapi pemanfaatan perluru sekaliber itu bisa saja dimanfaatkan senjata-senjata yang tidak hanya satu merk ya."
Dia menuturkan jenis senjata yang beredar di Indonesia cukup banyak. Boy mencontohkan terungkapnya jaringan pelaku perampokan emas yang menggunakan laras panjang, terorisme juga menggunakan laras panjang, pelaku aksi kekerasan terhadap petugas di Papua juga menggunakan laras panjang.
"Kalau organik dan nonorganik tergantung merek. Yang dimiliki organik juga ada yang ilegal dari perdagangan gelap. Contoh Abu Omar berbagai jenis senjata diperdagangkan. Apa ada kemiripan dengan organik? Ya bisa saja kemiripan. Tapi diperoleh dengan perdagangan gelap atau rampasan."
Sampai saat ini, Polri menyatakan pelaku pembantaian itu masih gelap, belum diketahui. Polri, katanya, ingin bekerja secara profesional berdasarkan bukti. Polri, lanjutnya, belum menduga-duga siapa pelaku pembantaian itu. "Namun, bagaimana menemukan bukti di TKP dan menggunakan informasi untuk penyelidikan lanjutan. Untuk tau siapa pelakunya."
Polri, menurutnya, optimistis dapat mengungkap pelaku tersebut, apalagi jika ada informasi dari masyarakat. "Jangan sampai ada informasi tidak digunakan. Jadi kalau ada info bagus, penting, sangat baik dijadikan bahan."
Dia menegaskan pengungkapan kasus itu bukan soal takut atau tidak takut, tetapi dikaitkan dengan proses penemuan alat bukti yang berhasil dilakukan. "Jadi, kalau alat bukti berhasil, segala sesuatu terang benderang. Persoalan bukan takut tidak takut, tetapi harus ukur keberhasilan memperoleh petunjuk, informasi, alat bukti, yang kita perlukan mengungkap pidana."
Menurutnya, Tim Propam (Profesi dan Pengamanan) sudah berada di Yogyakarta untuk mengetahui apakah ada kejanggalan dalam proses pemindahan tahanan.
Namun, katanya, jika pemindahan tahanan tersebut didasarkan keterbatasan sarana dan kebutuhan mendesak seperti perbaikan Lapas, maka pemindahan itu dianggap sah dilakukan. "Jadi, penyidik di Yogya bisa koordinasi dengan kepala Lapas untuk ditempatkan atau dititipkan tahanan."
Sementara itu, Dosen Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) dan Pengamat Kepolisian Alfons Loemau mengatakan ada keanehan dalam proses pemindahan empat tahanan yang baru ditahan di Mapolda DIY selama tiga hari ke Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cebongan Sleman pada 23 Maret 2013.
"Yang kita lihat penangkapan dan penahanan, proses penyedikan Polri, yang saya tidak mengerti setelah 3 hari dipindahkan ke LP Sleman. Itulah yang kami minta Kapolri menyidik dan membuktikan ada sesuatu terjadi di sana," ujarnya, Selasa (26/3/2013).
Dia menuturkan tragedi penyerangan sekelompok orang bersenjata yang menyebabkan empat tahanan meninggal merupakan tindak pidana berat yang telah membuat negara tercemar dan terhina. "Saya bekerja di Polri 30 tahun lebih, penahanan paling awal 30 hari, kalau 3 hari dipindah saya kaget, terheran-heran."
Dia berpendapat jika keamanan tahanan terancam, maka dapat dikirim ke Jakarta daripada membahayakan seluruh pihak termasuk penyidik kasus tersebut. "Minta Kapolri melakukan penyidikan dan tindak tegas kalau ada kelalaian atau kesengajaan [proses pemindahan tahanan]."
Menurutnya, kasus itu dapat dibawa ke Mahkamah Internasional terkait dengan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang dikategorikan berat tersebut.
Kasus itu termasuk pelanggaran HAM berat, katanya, karena keempat orang dibunuh di dalam tahanan -dalam perlindungan hukum di negara ini-, sehingga dikatergorikan dalam pelanggaran berat terhadap HAM. "Ini perbuatan biadab."
Jika kasus itu tidak segera diungkap, lanjutnya, maka akan menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat.
Pihak kepolisian telah memeriksa 45 saksi dalam kasus itu yang terdiri dari 32 narapidana dan 13 petugas penjara. Hasil pemeriksaan sementara menyimpulkan, eksekutor berjumlah satu orang.
Dalam penyerangan tersebut, empat tahanan tewas diberondong 31 peluru. Keempat tahanan yang dibubuh yaitu Hendrik Benyamin Sahetapy alias Diki, Yohanis Juan Manbait alias Juan, Gameliel Yermiyanto Rohi Riwu alias Adi, dan Adrianus Chandra Galaja alias Dedi. Keempatnya adalah tersangka kasus penganiayaan hingga tewas anggota Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI AD, Sersan Satu Santoso, di Hugo's Cafe, Sleman, pada 19 Maret 2013.