Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

EDITORIAL BISNIS: Memburu Pajak dari Kios dan Warung

Direktorat Jenderal Pajak tampaknya semakin agresif menjaring wajib pajak baru dalam rangka meningkatkan penerimaan negara dari sektor ini. Sikap agresif ini dilakukan karena rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto masih sangat rendah yakni

Direktorat Jenderal Pajak tampaknya semakin agresif menjaring wajib pajak baru dalam rangka meningkatkan penerimaan negara dari sektor ini. Sikap agresif ini dilakukan karena rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto masih sangat rendah yakni sekitar 12%.

Oleh karena itu, dalam waktu dekat pemerintah akan menerbitkan peraturan pemerintah (PP) tentang pengenaan pajak penghasilan (PPh) badan bagi usaha skala kecil dan menengah (UKM). Saat ini, draf PP tersebut telah berada di Kementerian Hukum dan HAM, yang berarti sedang dalam proses untuk ditandatangani Presiden.

Nantinya, jika PP ini berlaku efektif, setiap UKM yang memiliki lokasi usaha tetap/permanen dengan omzet di bawah Rp4,8 miliar akan dikenai PPh badan sebesar 1%. Begitulah pokok dan inti dari isi PP tersebut.

Kebijakan pengenaan PPh badan yang didasarkan pada omzet tersebut—bukan laba usaha—sebenarnya bukan hal lazim, namun model ini dapat dipahami karena pada umumnya UKM tidak memiliki sistem pembukuan yang baik sehingga sulit menghitung kewajiban PPh badan berdasarkan laba usaha.

Apabila terdapat UKM yang memiliki pembukuan yang rapi maka tentu saja pengenaan PPh badan akan tetap didasarkan pada laba usaha, bukan pada omzet. Kebijakan baru ini sebenarnya secara tidak langsung bisa mendorong kalangan UKM memiliki sistem pembukuan yang baik dan sesuai standar.

Dengan melihat kriteria yang ada dalam draf PP itu maka usaha kios, toko, dan warung yang beromzet hanya Rp20 juta atau Rp50 juta—kecuali pedagang kaki lima, asongan, usaha mikro yang tidak memiliki lokasi usaha permanen—dipastikan akan dikenai PPh badan 1%.

Kreativitas Ditjen Pajak dalam menjaring wajib pajak baru dari kalangan UKM memang patut diapresias

Dari sisi penerimaan negara, jelas kebijakan ini akan mendongkrak  pemasukan dari sektor pajak cukup signifikan mengingat di Indonesia terdapat jutaan unit UKM yang bisa dijaring sebagai wajib pajak baru.

Namun, dari sudut pandang pemberdayaan ekonomi kerakyatan, aturan baru ini tampaknya masih perlu dikaji lebih mendalam lagi karena berpotensi menimbulkan situasi kontraproduktif terhadap upaya pemerintah dalam mengembangkan usaha-usaha mandiri atau kewirausahaan.

Sebab, nantinya semua UKM yang memiliki omzet puluhan juta rupiah juga akan dikenai PPh badan dengan besaran yang sama yakni 1% sepanjang memiliki lokasi usaha yang permanen. Di sinilah muncul kondisi ketidakadilan bagi UKM beromzet semakin kecil.

Kemampuan finansial dari UKM beromzet Rp4,8 miliar jelas jauh lebih kuat dibandingkan dengan yang beromzet Rp500 juta atau di bawahnya. Namun, dalam hal kewajiban membayar PPh badan, UKM beromzet besar dan kecil akan diperlakukan sama.

otomatis penerimaan negara akan semakin besar, di samping kesadaran membayar pajak juga akan membaik. 

Dalam konteks pemberdayaan ekonomi kerakyatan, kebijakan perpajakan ini bisa menjadi kontraproduktif karena UKM beromzet kecil dengan nilai puluhan juta rupiah, seyogyanya diberikan insentif agar semakin tumbuh dan berkembang serta mampu menyerap tenaga kerja lebih banyak. Bukan malah sebaliknya dikenai PPh badan yang sama persentasenya dengan UKM beromzet besar.

Aturan ini menjadi terkesan terburu-buru karena hingga sekarang Menteri Koperasi dan UKM masih berkeras agar UKM beromzet kecil dengan nilai di bawah Rp300 juta mendapatkan pembebasan PPh badan. Kalaupun dikenai PPh badan maka besarannya paling tinggi 0,5%.

Tentu kita berharap rencana kebijakan ini dikaji ulang kembali sebelum disahkan, untuk melihat lebih jauh dampaknya terhadap upaya pengembangan ekonomi kerakyatan, yang selama ini nyata-nyata menjadi tulang punggung perekonomian.

Kreativitas Ditjen Pajak dalam menjaring wajib pajak baru dari kalangan UKM memang patut diapresiasi sebagai upaya menciptakan pemerataan hasil pembangunan.

Namun, pembenahan aparat pajak semestinya juga dilakukan lebih intensif dan serius guna mengurangi korupsi dan penyelewengan pajak. Ini sangat penting untuk membangun kepercayaan warga negara terhadap Ditjen Pajak.

Jika kejahatan pajak dapat dikurangi secara signifikan, secara otomatis penerimaan negara akan semakin besar, di samping kesadaran membayar pajak juga akan membaik. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : News Editor
Editor : Others
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper