JAKARTA: Komite Pimpinan Wilayah Partai Rakyat Demokratik (KPW PRD) menilai 12 peta indikatif area konsesi di Pulau Padang tidak sah, karena diduga tidak melibatkan partisipasi warga di wilayah tersebut. Organisasi itu menemukan Tim Sembilan, yang merupakan perwakilan warga, sama sekali tak bekerja dalam pengukuran tapal batas.
Ketua KPW PRD Bambang Aswandi mengatakan sebagai salah satu organisasi yang mendampingi warga Pulau Padang yang menolak PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP), pihaknya menemukan sejumlah kejanggalan dalam penetapan peta indikatif terkait dengan area konsesi perusahaan.
Salah satunya, adalah tidak bekerjanya Tim Sembilan, tim yang dibentuk dari perwakilan sendiri, namun ternyata menandatangani peta indikatif sehingga seolah-olah menjadi hasil pengukuran bersama. Penetapan peta itu sebelumnya dilakukan dengan mekanisme pelaksanaan Tata Batas Partisipatif (TBP).
"Kami menemukan Tim Sembilan sebenarnya tidak bekerja, namun mereka justru sudah menandatangani peta indikatif tersebut. Ini artinya peta tersebut tidak sah," ujar Bambang kepada Bisnis di Jakarta hari ini, Kamis (12/07/2012).
Dia mengungkapkan dalam 12 peta indikatif tersebut masih terdapat tumpang tindih lahan antara area konsesi milik PT RAPP dan permukiman warga. Hal itu, sambungnya, menunjukkan pengukuran tapal batas itu masih belum selesai seluruhnya.
Selain itu, Bambang memaparkan, terdapat kejanggalan tanda tangan yang tak berurutan pada Desa Pelantai, di mana Tim Terpadu sudah menandatangani peta tersebut, namun belum oleh Kepala Desa.
Padahal urutan tanda tangan itu harus dimulai dari Tim Sembilan (selaku pihak yang mengerjakan pengukuran), Kepala Desa (pengesahan di tingkat desa), perwakilan perusahaan (pihak terkait),Tim Dinas Kehutanan Kabupaten Kepulauan Meranti, Tim Terpadu, Tim Pemantau, dan Badan Pemetaan Kawasan Hutan (BPKH). Ketua Tim Terpadu Kabupaten Kepulauan Meranti adalah Burhanuddin, sementara Kepala Desa Pelantai, Khairi, belum membubuhkan tanda tangannya dan stempel resmi.
"Jadi ini adalah kejanggalan, seharusnya tanda tangan dilakukan secara berurutan. Tetapi khusus Desa Pelantai, Tim Terpadu sudah menandatangani lebih dahulu pada peta tersebut," ujar Bambang.
Konflik itu bermula ketika SK Menteri Kehutanan No. 327/2009 tentang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) untuk PT RAPP diterbitkan oleh Menteri Kehutanan. Dinas Kehutanan Provinsi Riau mengirimkan surat keberatannya kepada Kementerian Kehutanan pada September 2009 atau 2 bulan setelah izin RAPP terbit, dengan mengatakan izin perlu ditinjau ulang.
Dinas provinsi itu menemukan area RAPP masih tumpang-tindih, salah satunya adalah dengan suaka marga satwa Tasik Pulau Padang seluas 340,69 hektare. Selain itu, masih terdapat hutan produksi konversi seluas 23.411 hektare. Kementerian Kehutanan kemudian membentuk tim untuk melakukan pengukuran tapal batas terkait dengan peta yang akan digunakan oleh semua pihak.
Sementara itu, salah satu anggota Tim Pemantau dari Kementerian Kehutanan, Deni memaparkan pihaknya masih belum menyelesaikan masalah pemetaan tersebut secara keseluruhan. Deni juga sebelumnya pergi ke Pulau Padang, Provinsi Riau pada pekan lalu bersama dengan anggota lainnya Ahmad Jazali. "Semuanya masih belum selesai. Soal Tim Sembilan, kami juga memiliki saksi bahwa tim tersebut bekerja," ujar Deni ketika dikonfirmasi Bisnis di Jakarta, Kamis (12/07/2012).
Ketua Umum Serikat Tani Riau (STR) Muhammad Ridwan sebelumnya mengatakan pihaknya mendesak Kementerian Kehutanan agar blok Pulau Padang tetap dikeluarkan secara keseluruhan dari area konsesi. Jika hal itu tak dapat dilakukan, sambungnya, para relawan akan tetap melaksanakan niatnya melakukan aksi bakar diri.
"Disetujui atau tidak disetujui organisasi, kami akan melakukan aksi bakar diri," ujar Ridwan beberapa waktu lalu. "Ini merupakan pilihan pribadi masing-masing dan kami telah berbicara dari hati ke hati." (sut)