Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Sejumlah lembaga survei dan pengamat politik menilai popularitas dan citra Partai Demokrat berada pada titik terendah. Meski masih perlu diperdebatkan persentasenya, ada kesepakatan kualitas kemerosotan popularitas Partai Demokrat relatif signifikan. Intinya, pamor Partai Demokrat memudar.

Tentu saja hal itu merupakan imbas dari drama kasus yang membelit M. Nazaruddin, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, yang akhirnya diberhentikan dari posisinya menyusul silang-sengkarut kasus dugaan korupsi proyek pembangunan Wisma Atlet Sea Games di Jakabaring, Palembang.

Nazaruddin sendiri terlanjur melanglang buana sehari sebelum Ditjen Imigrasi menerbitkan surat cegah atas permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sampai akhirnya KPK menaikkan status pria asal Pematang Siantar berusia 33 tahun itu dari saksi menjadi tersangka, sosok Nazaruddin tetap absen.

Kehadirannya hanya diwakili pengacara senior O. C. Kaligis dan peredaran pesan singkat melalui fasilitas digital BlackBerry Messenger (BBM) yang disebut-sebut berasal dari dirinya.

Belakangan, pemerintah Singapura, yang tidak terbiasa memberikan komentar spesifik tentang persoalan yang menimpa warga negara asing--apalagi dari Indonesia--memastikan Nazaruddin sudah keluar dari negeri jiran tersebut.

Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Singapura mengonfirmasi bahwa pemerintah Indonesia sudah diberi tahu ke mana negara tujuan Nazaruddin setelah meninggalkan Singapura. Hingga tulisan ini dibuat, Nazaruddin seperti berada di negeri antah berantah.

Pencarian oleh aparat hukum sejauh ini mentok. Menhuk dan HAM Patrialis Akbar mengatakan setelah keluar dari Singapura, Nazaruddin sempat ke Kuala Lumpur, lalu ke Guangzhou, sebelum merapat ke Ho Chi Minh.

Setelah itu, keberadaan Nazaruddin belum terdeteksi lagi. Sebelumnya ada yang bilang Nazaruddin di Filipina. Bahkan ada yang mengatakan Nazaruddin di Pakistan.

Hal ini mirip spekulasi tentang keberadaan Nunun Nurbaeti, tersangka kasus dugaan suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia pada 2004 yang dimenangi Miranda Swaray Goeltom. Intinya, tidak ada pihak atau ororitas hukum yang berani memastikan di mana Nazaruddin saat ini berada.

KPK melalui Polri telah mengirimkan surat ke Interpol untuk memasukkan nama Nazaruddin dalam daftar buron internasional (red notice). Ini persis yang dilakukan terhadap Nunun.

Alih-alih Nazaruddin tertangkap, yang muncul justru serial terbaru pesan via BBM. Terakhir, Nazaruddin disebutkan mau pulang ke Tanah Air dan memenuhi panggilan KPK asal lembaga pemberantas korupsi nomor wahid ini lebih dulu menggelandang sejumlah nama yang disebutnya tersangkut korupsi Wisma Atlet.

Selain Menpora Andi Mallarangeng yang juga petinggi Partai Demokrat, sasaran BBM Nazaruddin juga mengarah ke beberapa nama lainnya, termasuk Anas Urbaningrum, sang ketua umum.

Andi dan Anas jelas membantah telah kebagian duit seperti ditudingkan Nazaruddin. Bahkan, mungkin saking jengkelnya, Anas melalui sejumlah pengacaranya melaporkan Nazaruddin ke Mabes Polri dengan tuduhan melakukan fitnah dan pencemaran nama baik.

***

Harus diakui, drama kasus Nazaruddin telah menjadi ujian serius dan kritikal bagi Partai Demokrat, yang sedari awal hendak menjadi partai terdepan dalam pemberantasan korupsi.

Pertanyaannya adalah, bagaimana mungkin Nazaruddin bisa menjadi pejabat teras dengan posisi Bendahara Umum Partai Demokrat?

Apakah ada yang error dengan sistem rekruitmen dan promosi politik di internal partai tersebut? Kalau ada orang yang merasa paling terpukul dengan terkuaknya kasus Nazaruddin barangkali adalah Susilo Bambang Yudhoyono selaku penggagas sekaligus pendiri Partai Demokrat.

Hingga kini SBY aktif menjadi Ketua Dewan Pembina sekaligus Ketua Dewan Kehormatan Partai Demokrat, dua lembaga yang memiliki peran sentral dalam menentukan kebijakan strategis partai ini.

Faktanya, terungkapnya kasus Nazaruddin sedikit-banyak telah memicu sinisme di kalangan sebagian masyarakat betapa Partai Demokrat pun tak luput dari oknum bermasalah.

Ditambah dengan silang sengkarut dan polemik di antara kader partai, lengkap sudah ironi dan drama politik yang menggerogoti citra partai ini.

Belum lagi ditambah kasus dugaan pemalsuan surat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan perolehan kursi di DPR, yang menyeret nama Andi Nurpati, bekas komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang kini menjadi salah satu petinggi di DPP Partai Demokrat. Cerita

tentang Nazaruddin, juga Andi Nurpati, tampaknya belum akan usai dalam tempo dekat ini. Tentang Nazaruddin, bahkan banyak pihak pesimistis apakah dia akan bersedia sukarela pulang ke Tanah Air.

Harapan satu-satunya adalah Interpol berhasil membawanya balik ke Indonesia. Tapi, ini pun kita tidak bisa berharap banyak. Lihat saja, berapa WNI bermasalah yang sudah di-red notice-kan, dan hingga kini seperti hilang ditelan bumi: mulai dari Eddy Tansil (kasus Golden Key), Sudjiono Timan (kasus BPUI), Bambang Soetrisno (kasus BLBI Bank Surya), Djoko Tjandra (kasus cessie Bank Bali) dan lain-lain.

Hanya David Nusa Wijaya (kasus BLBI Bank Sertivia) yang berhasil dipulangkan, setelah yang bersangkutan tersandung masalah keimigrasian di Amerika Serikat.

Di luaran memang terdengar kasak-kusuk bahwa teman-teman Nazaruddin di Partai Demokrat merasa gerah dan tidak nyaman apabila suatu hari mantan politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu pulang dan membuat testimoni terbuka tentang semua hal, terutama terkait dengan aliran dana.

Benar tidaknya isu ini susah dikonfirmasi, mengingat sebagai pejabat tinggi partai tentu saja Nazaruddin kenal dan berteman dengan banyak orang di internal Partai Demokrat.

Masalahnya, siapa yang menjadi 'rekanan bisnis' Nazaruddin dan turut tersangkut kasus hukum yang membelitnya, waktu yang akan berbicara.

Satu hal, Nazaruddin baru berstatus tersangka, belum terdakwa, apalagi terpidana. Sepatutnya perlu dijunjung asas praduga tak bersalah. Karena itu, siapapun yang merasa tidak pernah menerima aliran dana ilegal, tak perlu cemas dan ketakutan.

Siapapun kader Partai Demokrat, asal dia bersih, tentu berharap Nazaruddin segera pulang dan memberikan pertanggungjawaban di depan hukum. Hanya mereka yang memang prokorupsi sajalah yang berupaya menghalang-halangi Nazaruddin untuk pulang.

Dengan masih begitu sentralnya figur SBY, pilihan sikap dan tindakan Ketua Dewan Pembina ini niscaya sangat menentukan arah perjalanan Partai Demokrat.

Pernyataan SBY di Cikeas, 11 Juli lalu, yang meminta Anas untuk melakukan pembersihan dan mengambil langkah tegas atas kader bermasalah mesti dimaknai sebagai arahan untuk mengembalikan pamor Partai Demokrat.

Tak ada pilihan lain bagi Anas, selaku pemegang mandat, untuk menerjemahkan permintaan dan dukungan SBY itu melalui tindakan konkrit dengan segala konsekuensi yang mengekorinya. Taruhannya jelas, bila kisruh dan karut-marut di Partai Demokrat kian runyam, partai ini terancam anjlok perolehan suaranya pada pemilu mendatang. Skenario terburuk, Partai Demokrat tereduksi menjadi partai gurem. (ea)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : News Editor

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper