Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rudy Hadisuwarno : Inovasi dengan creambath

JAKARTA: Kesan sederhana dan ramah langsung menyeruak begitu berhadapan langsung dengannya. Berbalut kemeja biru dan celana hitam, penata rambut kondang itu menerima kami dengan hangat. Kepada Bisnis, Rudy Hadisuwarno membagi kisahnya menggeluti usaha

JAKARTA: Kesan sederhana dan ramah langsung menyeruak begitu berhadapan langsung dengannya. Berbalut kemeja biru dan celana hitam, penata rambut kondang itu menerima kami dengan hangat. Kepada Bisnis, Rudy Hadisuwarno membagi kisahnya menggeluti usaha penataan rambut sejak akhir 1960-an. Berikut petikan wawancaranya:

Kapan pertama kali Anda terjun berbisnis?

Saya memulai belajar rambut di Jakarta pada 1967. Selepas SMA sambil menunggu waktu kuliah, saya pakai waktu kosong itu untuk belajar rambut. Saya menyadari kondisi ekonomi yang cukup menyulitkan setelah Gestapu itu, sehingga untuk biaya kuliah, saya harus cari tambahan karena orang tua nggak mampu membayar penuh.

Orang tua memutuskan pindah ke Jakarta pada 1963 untuk melanjutkan pendidikan anak-anak berhubung di Pekalongan saat itu tidak ada SMA. Namun yang namanya baru pindah ke kota besar ditambah lagi ada Gestapu pada 1965, usaha orang tua mengalami kesulitan. Itulah sebabnya saya harus mencari pekerjaan.

Kenapa rambut? Karena usaha itu sudah pernah dijalankan orang tua saya sejak dari Pekalongan. Namun ibu nggak buka salon di Jakarta waktu itu karena kondisi tidak memungkinkan. Oleh karena itu, saya kemudian belajar salon pada 1967 dan pada 1968 saya mulai buka salon di rumah.

Saya mulai belajar rambut di Kemayoran pada 1967 dengan Robby. Beliau terkenal di Jakarta kala itu. Saya memulai dari bawah, mulai dari menyapu dan mencuci rambut. Setahun saya di sana sambil kuliah di Trisakti, Fakultas Teknik Jurusan Arsitektur.

Bagaimana Anda merintis bisnis tersebut?

Saya mulai dari rumah saya pada 1968 dengan satu meja dan satu kursi. Waktu itu belum pakai merek karena letaknya di gang buntu. Semua bermula dari ruang tamu orang tua saya dan menggunakan meja rias orang tua. Untuk mencuci rambut masih memakai kaleng di depan kamar mandi. Jadi dimulai dengan sangat sederhana.

Setelah berunding dengan keluarga, jadi diputuskan saya berhenti kuliah dulu, kemudian berkonsentrasi ke usaha salon. Itu terjadi pada 1971. Pada tahun itu, saya sudah bisa menabung dan saya memutuskan untuk berangkat ke Eropa untuk belajar di London dan Prancis 6 bulan lamanya.

Di sana saya belajar rambut lagi tapi saya juga mengamati bukan hanya tekniknya tapi bagaimana menjalankan bisnis salon. Kala itu di sana sudah mulai berkembang franchise sehingga saya belajar apa itu franchise.

Apa motivasi Anda ketika membuka sekolah salon?

Dalam perjalanan, saya juga berpikir bagaimana mulai mendidik tenaga kerja yang andal untuk menjalankan bisnis tersebut. Saya mulai memberanikan diri bagaimana mentransfer skill saya kepada orang lain. Pada 1974 saya mulai buka sekolah atau lebih tepatnya kursus-lah.

Waktu pertama kali belajar menata rambut, apakah ada perasaan risih karena faktor gender?

Enggak juga. Kebetulan guru saya laki-lakjadi bukan saya yang pertama. Sebelum saya juga ada Johny Danuarta. Dia 1 tahun lebih dahulu dari saya. Jadi sudah nggak terlalu aneh bagi saya.

Kapan Anda mulai menggunakan nama merek Rudy?

Waktu salon masih berlokasi di gang buntu, saya belum memakai brand 'Rudy' meski tenaga kerja saya sudah bersertifikat 'Rudy'. Namun orang sudah ramai berdatang an dan sudah mengenal salon Rudy.

Jadi, nama Rudy itu sebenarnya dikenal dari mulut ke mulut.

Kapan bisnis Anda ini mulai berkembang?

Pada 1978, terpikir oleh saya untuk memindahkan segmen market dari kelas menengah ke kelas atas. Saya berpikir saya harus mencari lokasi baru. Pilihannya di Kebayoran atau tetap di tengah kota tapi di suatu tempat yang lebih strategis.

Jadi ketika Duta Merlin dibangun, saya menyewa di situ untuk membuka salon. Di situlah brand Rudy Hadisuwarno mulai saya pakai.

Pada 1971, harga saya Rp1.500. Itu sebelum keluar negeri. Begitu pulang dari luar negeri, saya naikkan menjadi Rp6.000 karena lebih canggih.

Setelah itu sepi nggak ada yang datang karena orang berpikir saya gila mematok harga gunting yang sangat tinggi.

Bagaimana ceritanya kemudian Anda mulai dikenal luas?

Pada awal 1970-an, saya sudah mulai bekerja sampingan. Saya baca iklan ada agency model yang mencari penata rambut part time untuk menangani fashion show. Saya melamar dan bekerja sore hari. Di situ saya mulai berkenalan dengan model-model. Rambut mereka saya gunting, saya tata, dan dari situ nama Rudy mulai kedengaran.

Itu juga salah satu trik saya untuk berpromosi, sehingga media mulai melirik, minta foto yang terbaru. Kalau penyanyi misalnya dibawa ke saya, difoto kemudian masuk media. Nah, waktu salon sepi setelah harga tinggi yang saya patok itu, saya panggil model-model untuk digunting secara gratis. Pada tahun itu, ekonomi juga lagi booming. Pada 1978, harga saya sudah menjadi Rp15.000. Paling mahal.

Kapan Anda mulai melakukan ekspansi bisnis?

Belakangan saya buka cabang kedua di Hotel Mandarin. Itu sekitar 1980-an. Di situ saya mulai berkenalan dengan bank karena waktu itu buka cabang lagi.

Pinjaman pertama tidak banyak, waktu itu Rp100 juta. Pinjaman pertama dari BCA untuk buka dua salon. Waktu itu, saya hanya punya satu brand, yakni Rudy Hadisuwarno. Saya pakai brand itu seiring dengan perubahan segmen.

Selama 1980 dan 1990-an, saya masih di satu segmen, kemudian sudah banyak salonnya. Sudah ada di Blok M Plaza, Bintaro Plaza, Cinere. Itu semua pakai Rudy Hadisuwarno. Itu masih di Jakarta. Kemudian saya perluas ke Bandung, Surabaya. Saya juga sudah mulai franchise.

Alasan memulai franchise?

Karena butuh modal untuk mengembangkan usaha. Kebetulan ada tawaran mau buka salon dengan merek Rudy, ya...sudahlah saya coba. Waktu itu untuk buka salon butuh dana sekitar Rp50 juta-Rp100 juta.

Tampaknya Anda banyak belajar dari orang tua. Selain semangat bisnis, ada hal lain yang diwarisi orang tua?

Pasti ada. Kebetulan ibu saya pintar berusaha. Begitu juga bapak saya. Saya belajar bisnis dari mereka. Banyak hal yang saya dapat dari beliau berdua karena sangat mendukung saya. Bahkan kalau perlu, ibu mencuci rambut tamu. Bapak juga sering mengantar saya kalau saya ada panggilan.

Dari sekian penghargaan yang pernah diraih, mana yang paling berkesan?

Yang pertama ketika saya terima telepon dari Dirjen Kebudayaan, Ibu Haryati Soedibyo. Dia mendapatkan surat dari Prancis yang menyatakan saya mendapatkan penghargaan. Saya kaget sekali karena ini luar biasa, melalui pemerintah pula. Kemudian saya diundang ke sana untuk terima penghargaan itu. Itu pertama kali dan sangat luar biasa menurut saya. Itu tahun 1979, award pertama dari Prancis.

Apakah berencana go public?

Sementara belum. Saat ini kami sedang melakukan regenerasi. Sekarang ini CEO kami bukan adik saya tapi anaknya atau keponakan saya. Jadi sudah generasi kedua. Namanya Oliver. Dia keponakan saya yang tertua. Saya persiapkan dia dengan menyekolahkan dia ke nggris untuk belajar manajemen.

Apa momen tersulit selama berbisnis?

Momen tersulit adalah ketika saya mengalami hijrahnya sejumlah karyawan saya pada suatu waktu. Itu terjadi pada 1965. Saya shock tetapi saya harus bangkit. Saya mulai kerja lagi, pelan-pelan didik orang lagi.

Sebaliknya, apa yang paling disyukuri?

Waktu terima penghargaan pada 1979. Saya masih begitu muda di kala itu dan saya terima penghargaan tingkat internasional. Itu diberikan oleh penata rambut paling terkenal di dunia, Alexander de Paris. Itu luar biasa sekali, karena dia adalah penata rambut untuk ratu-ratu.

Apa yang belum diraih dalam hidup?

Sudah. Saya pikir sekarang saya tinggal mengawali regenerasi. Saya ingin bekerja hingga saya tidak kuat lagi. Saya lihat teman dan ibu saya. Ada sindrom ketika kita berhenti bekerja. Jadi lebih baik saya bekerja terus sampai sudah tidak kuat.

Apa pesan untuk para pebisnis?

Pertama, memilih bisnis yang memang disukai. Lupakan faktor uang, toh dalam menjalankan bisnis karena modal awalnya kita suka dengan apa yang akan kita kerjakan. Kemudian fokus. Jalani dengan sungguh-sungguh, jangan setengah jalan. Kemudian belajar terus, gali terus, dan harus selalu mencari hal baru terus, kreatif dan pelihara supaya standarnya jangan turun.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : News Editor
Editor : Mursito

Topik

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper