Dua tahun lalu Ramadhani dimintai Rp2 juta ketika anak pertamanya mendaftar di satu sekolah menengah pertama negeri di Medan. Permintaan itu membuatnya urung memasukkan sang anak ke sekolah negeri favorit dan lebih memilih sekolah swasta.
Tahun ini, anak keduanya mendaftar di SMP negeri yang sama. Walau nilai ujian nasional (UN) sang anak di atas rata-rata, nyatanya tak lolos juga.
“Saya heran kenapa enggak jebol. Padahal waktu pengumuman, saya lihat anak-anak lain yang nilainya jauh di bawah anak saya, malah lolos. Saya enggak mau nyogok juga, makanya akhirnya yang nomor dua ini saya sekolahkan juga di swasta,” tutur perempuan 32 tahun itu.
Rupanya penerimaan anak keduanya berbeda dibandingkan dengan anak pertama. Ditolak masuk sekolah negeri rupanya membuat sang anak kedua kecewa berat. Masuk ke sekolah swasta, persepsinya, di bawah kualitas sekolah negeri di Medan Maimun itu.
Pelan-pelan Ramadhani menjelaskan ke sang anak, termasuk soal ketidakberesan proses penerimaan di SMP favorit itu. Dia menekankan bahwa sang anak salah persepsi karena sebenarnya sekolah swasta tidak berbeda dengan sekolah negeri, malah banyak yang jauh lebih baik, termasuk sekolah yang akan dia masuki.
Masuk sekolah baru memang tak selamanya penuh dengan kenangan yang menyenangkan. Kekecewaan adalah salah satu perasaan anak yang satu ketika harus Anda hadapi manakala sekolah yang diharapkan ternyata menolak.
Baca Juga
Oleh karena itu, selain dana, orang tua juga harus menyiapkan mental agar buah hati tak berlama-lama dirundung ‘patah hati’. Apalagi, bagi anak yang hendak masuk jenjang pendidikan formal.
PERANG DAGANG AS-CHINA: Senat Berupaya Perlambat Eskalasi Tarif Impor
Feka Angge Pramita, psikolog Klinik Anakku, menyebut persiapan mental sangat penting karena pendidikan bukan hanya soal rutinitas harian, tetapi soal bagaimana aktivitas belajar dan kemandirian dibentuk. Misalnya, bagaimana agar ketika ditinggal si anak tidak cemas dan menangis lagi.
“Bila dia belum siap, sudah pasti akan sering tidak mau sekolah. Kalaupun dibawa ke sekolah dia menangis menuju sekolahnya, atau minta didampingi selama belajar di sekolah,” ujar
Persiapan mental anak bisa dilakukan sejak pemilihan sekolah, misalnya dengan mengajak anak ke calon tempatnya belajar, melihat kondisi lingkungan sekolah dan guru-gurunya sehingga ketika masuk dia akan lebih siap. Ini adalah upaya pembiasaan agar anak tak merasa asing dan cemas.
Selain itu, Anda juga bisa mengikuti saran pemerintah agar menyekolahkan anak di lokasi yang dekat dengan tempat tinggal. Menurut pengamat pendidikan Universitas Padjajaran, Satriana, tujuannya adalah kontrol dari orang tua lebih terjaga, dan mengurangi risiko anak kelelahan karena harus menempuh jarak yang jauh untuk sampai ke sekolah.
Namun, bagaimana jika sekolah di dekat tempat tinggal ternyata tidak memenuhi kualitas yang diharapkan orang tua?
Satriana menilai bahwa orang tua harus paham bahwa sarana dan prasarana bukan ukuran utama, karena yang terpenting adalah kualitas guru yang mampu mendidik anak menjadi lebih baik.
Dia mengambil contoh kisah Andrea Hirata yang difilmkan, Laskar Pelangi. “Keterbatasan sarana dan prasarana tidak menghalangi seorang guru dalam mendidik anak muridnya dengan sangat baik,” katanya.
Menurutnya, mahalnya biaya sekolah dengan fasilitas di atas rata-rata tidak selalu berbanding lurus dengan keberhasilan pendidikan yang baik bagi anak. Terpenting, lanjutnya, anak mendapatkan pengetahuan yang mencukupi sesuai dengan masa perkembangan pada umumnya.
- PERANG DAGANG AS-CHINA: Senat Berupaya Perlambat Eskalasi Tarif Impor
- Hasil Seleksi PPDB SMA Jabar 2018, Link Tidak Bisa Diakses
- Jokowi: Baru Pertama Kali Saya Dengar Mars NU di Istana
- Pengadilan Tinggi Putuskan Banding Jonru Ginting, Ini Isinya
- CPNS 2018: Dicari 220.000-an Orang. Begini Bocoran Kandidat Yang akan Diterima
Semua Level
Persiapan mental anak perlu dilakukan pada setiap jenjang, baik Sekolah Dasar, SMP, maupun Sekolah Menengah Atas (SMA). Pasalnya, pada tiap level ada perubahan lingkungan, bertemu orang baru, dan terkadang anak masuk sekolah yang tidak diharapkannya.
Sekjen Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Erlinda menyebut bahwa selain secara psikologi, minat bakat, ataupun keinginan akademik, yang perlu disiapkan adalah kebutuhan anak.
“Kadang orang tua kebanyakan, kalau untuk jenjang SMA, tidak terlibat cukup jauh, tidak mendengarkan keluahan dari anak. Misalnya karena orang tua hanya ingin dekat saja, supaya terawasi dengan baik. Tetapi sang anak berpikiran sekolah tersebut tidak sesuai dengan minat bakat, atau potensi akademiknya,” katanya.
Erlinda menyarankan agar orientasi orang tua dalam menyekolahkan buah hati kembali pada tujuan pendidikan, yakni proses membangun pola pikir yang sesuai dengan zamannya, bukan sekadar berorientasi nilai.
Persiapan masuk SD biasanya jauh lebih berat daripada ke jenjang SMP atau SMA. Anak yang masuk SD, misalnya, harus mulai menyesuaikan dengan rutinitas bangun pagi. Persiapan ini jauh lebih mudah apabila anak sudah terbiasa dengan rutinitas tersebut sejak di TK atau playgroup.
Psikolog anak Tiga Generasi Saskhya Aulia Prima menyebut anak-anak perlu disiapkan untuk berpisah dengan orang tuanya saat sekolah, terutama bagi anak yang secara emosi belum siap. “Biasanya yang repot itu kalau anak kecil menghadapi kecemasan ketika harus masuk sekolah setelah libur panjang, atau untuk libur satu atau dua hari.”
Adapun untuk anak-anak di jenjang SMP atau SMA, gejala ketidaksiapan yang biasa terlihat seperti tidak memiliki mood belajar. Namun, apabila sampai timbul stress atau depresi, orang tua perlu lebih waspada karena biasanya faktornya bukan karena usai liburan.
Hasil Seleksi PPDB SMA Jabar 2018, Link Tidak Bisa Diakses
Selama liburan pun orang tua harus tetap mengatur disiplin anak, seperti bangun pagi dan tetap ada kegiatan, atau juga bisa mengikutserakan dalam holiday program yang dapat meningkatkan skill anak. Anak juga harus beradaptasi satu-dua minggu sebelum benar-benar masuk sekolah.
Orang tua juga mesti mengerti dan mewaspadai soal bullying terhadap anak di sekolah. Pemahaman akan lingkungan sekolah, komunikasi dengan guru, dan interaksi dengan anak perlu dilakukan secara intens di masa-masa awal masuk sekolah.
Penggunaan gawai juga bisa mempengaruhi semangat anak ke sekolah. Jika tidak dibatasi, anak-anak yang keranjingan main gim bakal sulit berkonsentrasi di sekolah karena pikirannya ke mana-mana.
Feka Angge mengatakan bahwa pada anak-anak yang berusia early childhood memasuki childhood memiliki perkembangan otak bagian depan, yang berhubungan dengan problem solving, belum terbentuk dengan baik. Gawai bisa berdampak lebih buruk pada anak di usia ini.
“Jadi sebaiknya, sebaiknya memang tidak memberikan sama sekali gawai kepada anak-anak seusia itu. Kalaupun itu diberikan, harus dengan pembatasan yang ketat dan konsistensi yang tinggi,” ujarnya. (M. Taufikul Basari)