Bisnis.com,JAKARTA- Negara memberikan ruang bagi kelompok sipil yang menggunakan kekerasan untuk melawan gerakan reformasi.
Sosiolog dari Universitas Gajah Mada (UGM) Najib Azca mengatakan bahwa menjelang reformasi 1998, ada fase ketika Indonesia mulai mengalami krisis dan mengalami memang disintegrasi khususnya di kalangan elit.
“Elit, mulai mengalami fragmentasi, pecah-pecah gitu, dan sebagian elit kemudian memobilisasi kekuatan-kekuatan sosial untuk membentuk kekuatan masyarakat yang melakukan aksi-aksi kekerasan,” jelasnya, dalam program bincang Broadcast di kanal Youtube Bisniscom, dikutip Jumat (16/5/2025).
Para elit, terangnya, mendukung terbentuknya kelompok-kelompok preman dengan berbagai latar mulai dari etnis, nasionalistik, atau bahkan yang berlatar agama tertentu.
Setelah Soeharto jatuh dan kekuasaan beralih ke Habibie, sembari menanti pemilihan umum berikutnya, aparat negara membentuk kelompok spili yang disebut sebagai Pam Swakarsa.
Kelompok ini, jelasnya, bertugas melakukan pengamanan yang salah satu tugasnya adalah melawan gerakan reformasi.
Baca Juga
Dengan adanya Pam Swakarsa, tuturnya, militer atau polisi tidak harus berhadapan dengan kelompok demonstran pro reformasi, melainkan para demonstran akan berhadapan dengan kelompok preman-preman ini.
“Jadi memang praktek politik Pam Swakarsa itulah salah satu akar dari premanisme di era reformasi,” ucapnya.
Dia menekankan bahwa di era reformasi, praktik premanisme yang memiliki relasi dengan elemen-elemen negara bertujuan untuk mengamankan kekuasaan. Dengan demikian, pemerintah tidak perlu turun tangan menghadapi demonstran.
Menurut dia, organisasi kemasyarakatan bertujuan bekerja untuk mendukung kepentingan-kepentingan masyarakat, seperti program sosial kesehatan, pangan, termasuk keamanan. Namun, yang menjadi masalah adalah muncul stigma mengenai ormas-ormas yang melakukan kekerasan secara sepihak.
Aksi kekerasan yang dilakukan, tuturnya, memiliki tujuan-tujuan politik, sosial, ekonomi, serta moral. Hal semacam ini terangnya, lebih menjadi perhatian publik. Padahal, masih banyak ormas lain yang bekerja demi kepentingan masyarakat.
Karena i tu, dia berpandangan, kepercayaan publik kepada negara dan juga ormas akan semakin tinggi jika salah satu indikatornya adalah pemberantasan premanisme di ruang publik.
Menurutnya, selama preman dan premanisme hadir dan menonjol di ruang publik, hal itu negara gagal menjalankan mandat dari rakyat untuk menegakkan keamanan publik.
Dia melanjutkan pemberantasan premanisme tidak sulit. Alat negara tinggal menangkap para pihak yang disinyalir melakukan praktik semacam itu. Negara, tuturnya, mesti memberikan rasa aman kepada rakyat karena rakyatlah yang selama ini mendanai operasional alat negara.
Dia juga menyorot tentang aksi premanisme terhadap investor asing yang berusaha di Indonesia. Hal ini. Kata dia, merupakan bentuk kegagalan negara untuk menyediakan ruang publik yang bersih dan bebas dari biaya tambahan saat investor berinvestasi di Indonesia.
“Biaya tinggi ini sekarang ini memang salah satu problem Indonesia karena investasi menjadi tinggi, karena banyak biaya-biaya yang tidak resmi yang harus dilakukan,” pungkasnya.