Bisnis.com, JAKARTA - Ekonomi global sedang memasuki babak baru penuh gejolak. Tantangan terbesar berasal dari Amerika Serikat yang memperkenalkan tarif dagang baru di awal April 2025.
Menurut situs resmi kepabeanan China, total nilai perdagangan China dengan dunia melampaui US$6,16 triliun pada 2024, menegaskan kembali peran sentralnya dalam ekonomi global.
Namun, dominasi ini memicu reaksi keras. Tarif impor untuk barang dari China masuk ke AS hingga 145% memicu gejolak pasar dan menyebabkan penurunan nilai pasar saham AS hingga US$6 triliun.
Sebagai respons, China memberlakukan tarif balasan dan membatasi ekspor beberapa mineral tertentu. Di tengah aksi saling balas ini, Asia Tenggara menjadi medan tarik-menarik pengaruh ekonomi.
Kunjungan Presiden Xi Jinping baru-baru ini ke Vietnam, Kamboja, dan Malaysia—tanpa menyertakan Indonesia—menimbulkan tanda tanya. Namun, absennya Indonesia kemungkinan mencerminkan hubungan bilateral yang sudah mapan, bukan penolakan diplomatik.
Berbeda dengan Vietnam yang mendekat ke AS, dan Kamboja yang menjadi rekan Beijing, Indonesia berada di posisi tengah: mitra strategis bagi kedua negara besar, tanpa terikat pada salah satunya.
Baca Juga
Namun, dampak perang dagang AS-Tiongkok terasa nyata di dalam negeri. Produsen lokal menghadapi lonjakan barang-barang China yang dialihkan dari pasar AS, memaksa pemerintah menerapkan bea masuk tambahan melalui mekanisme BMTP (Bea Masuk Tindakan Pengamanan) dan BMAD (Bea Masuk Anti Dumping) pada sektor sektor yang rentan terhadap lonjakan impor seperti tekstil dan produk tekstil.
Di sisi lain, Indonesia juga mampu memanfaatkan pergeseran arus perdagangan ini. Perusahaan-perusahaan China yang ingin menghindari tarif AS mulai memindahkan produksinya ke Asia Tenggara.
Di Jawa Barat, sebuah pabrik tekstil China tengah dibangun dan diperkirakan akan menyerap 30.000 tenaga kerja—tanda bahwa Indonesia bisa menjadi pemenang dalam pergeseran industri global, jika mampu memanfaatkan momentum.
Di tengah berbagai pilihan dagang tersebut, Indonesia menghadapi dampak seperti penguatan dolar AS, perlambatan pertumbuhan dan tantangan dalam menentukan bentuk investasi yang tepat.
Untuk lebih memahami perang dagang, kita perlu mendalami arus barang dan uang antara Indonesia dan AS. Berdasarkan data dari Reuters, untuk kuartal pertama 2025 Indonesia mencatat surplus perdagangan sebesar US$4,32 miliar, naik lebih dari 25% dari tahun 2024. Ekspor minyak kelapa sawit untuk bulan Maret 2025 melonjak 41% dibandingkan Februari 2025 menjadi US$2,19 miliar dan ekspor nikel untuk bulan Maret 2025 naik 12% dibandingkan Februari 2025 menjadi US$2,38 miliar.
Kenaikan minyak kelapa sawit disebabkan adanya peningkatan permintaan menjelang penerapan tarif baru oleh AS. Industri ini juga cukup kuat karena tersedianya pabrik kelapa sawit (PKS) di banyak tempat yang membuat pengiriman minyak kelapa sawit dari Indonesia sudah berbentuk barang jadi dan bukan barang mentah.
Selain itu, larangan ekspor bijih nikel mentah, juga telah mendorong peningkatan nilai ekspor produk nikel yang telah diproses menjadi produk bernilai tambah. Hal ini menunjukkan bahwa Pemerintah, melalui strategi hilirisasi, berhasil menjaga rantai pasok barang yang lebih siap menghadapi dinamika global.
Pengalaman yang lalu menunjukkan bahwa di saat Indonesia hanya mengirim barang mentah, risiko perubahan industri membuat permintaan barang tersebut seiring dengan waktu bisa berkurang. Sebagai contoh, perdagangan karet alam. Indonesia menjadi negara penghasil karet terbesar di dunia pada 2017 melampaui hasil tertinggi sebelumnya yang dicapai Indonesia pada tahun 2013.
Sehingga, capaian produksi alam yang tinggi, tetap membutuhkan dukungan rantai pasok yang terarah. Untuk tetap unggul, Indonesia perlu terus berinvestasi dalam industri bernilai tambah, memperkuat infrastruktur logistik ekspor, serta meningkatkan keterampilan tenaga kerja agar sesuai dengan tuntutan global baru.
Secara khusus, percepatan penghiliran di sektor selain nikel, seperti tembaga, bauksit, dan mineral strategis lainnya, menjadi semakin penting. Pergeseran rantai pasok global memberikan Indonesia peluang yang sangat berharga.
Ketika banyak pelaku usaha dunia mencari alternatif selain pusat manufaktur tradisional, Asia Tenggara muncul sebagai destinasi utama—dan Indonesia, dengan tenaga kerja yang besar, sumber daya alam yang melimpah, serta pasar domestik yang berkembang, memiliki daya tarik tersendiri.
Namun, persaingan juga datang dari negara tetangga seperti Vietnam, Thailand, dan Malaysia yang secara masif menarik investasi dan meningkatkan kapasitas industrinya.
Untuk berhasil, Indonesia harus menyederhanakan iklim investasi, memperkuat kepastian hukum, dan memastikan pembangunan infrastruktur sejalan dengan kebutuhan rantai pasok industri.
Indonesia telah membuktikan kemampuan untuk menghadapi gejolak global dengan ketangguhan dan visi yang tepat. Namun, ketangguhan saja tidak cukup. Untuk benar-benar berkembang di dunia yang semakin kompetitif, Indonesia harus melangkah dari sekedar mencari keuntungan jangka pendek, dan membangun fondasi daya saing jangka panjang.
Hal ini berarti hilirasi industri, memperluas ekspor ke pasar yang baru, mendorong sektor berbasis inovasi, dan melakukan reformasi berani untuk menarik investasi berkualitas tinggi. Jendela peluang Indonesia terbuka—namun tidak akan terbuka selamanya.