Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin membeberkan penyebab terjadinya perundungan di dunia Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS). Terjadinya perundungan ini tidak lepas dari banyaknya senior yang mengajar juniornya.
Dia menjelaskan, praktik pengajaran di rumah sakit selama ini banyak diserahkan kepada senior alias bukan dosen resmi, karena keterbatasan waktu. Situasi ini acap kali membuka ruang perundungan dari senior ke junior.
“Kenapa bullying terjadi? Karena senior yang menentukan yang mengajar sekarang di PPD bukan gurunya, gurunya sibuk, akhirnya dikasih ke senior. Senior ya bullying itu. Karena gurunya tidak bisa ngawasin," ujarnya dalam rapat kerja (raker) dengan Komisi IX DPR=-, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (29/4/2025).
Selain hal itu, Budi juga menyebut perundungan banyak terjadi di PPDS karena dianggapnya murid-murid tidak memiliki haknya, sehingga sangat rentan dirundung.
Sebab itu, lanjutnya, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) akan menerapkan standar baru yang mengadopsi model dari Accreditation Council for Graduate Medical Education International (ACGME-I).
“Dari ACGME-I itu diatur, kenapa bullying banyak terjadi? Karena di pendidikan ini terlampau banyak dan tidak diatur karena dia dianggapnya murid-murid, kan nggak ada haknya. Tapi kalau dia kontrak sebagai pekerja, itu diatur maksimal, nggak boleh lebih dari 80 jam per minggu," lanjut dia.
Baca Juga
Kendati, dia menuturkan dalam kondisi tertentu peserta pendidikan boleh bekerja 20 kam dalam satu hari karena ada kondisi gawat darurat. Namun, besoknya harus istirahat.
"Semua rumah sakit yang akan jadi rumah sakit pendidikan, kita bawa ke Amerika, kita latih, begini jadi rumah sakit pendidikan standar dunia. Dan nanti diakreditasi oleh mereka. Kita untuk rumah sakit sebagai pendidikan pakainya ACGMEI," jelasnya.
Selain penyebab-penyebab tadi, Budi juga menyoroti soal kelulusan peserta didik dokter kerap kali dipengaruhi oleh subjektivitas senior, bukan berdasarkan kompetensi medis yang terukur.
“Dulu lulus tidak lulus susah kalau dokter spesialis. Tidak lulus kenapa? Saya tidak suka. Nanti tidak. Kita lihat, melakukan operasi usus buntu, benar tidak operasinya, berhasil atau tidak . Kalau dari 10 berhasil 10, ya dia lulus. Semua berbasis sistem dan diawasi dua orang,” tegasnya.
Dengan demikian, guna mengatasi masalah tersebut, akan ada sistem pendidikan baru yakni evaluasi 360 derajat. Nantinya, junior dapat memberikan umpan balik terhadap senior secara anonim.
Mekanisme ini diharapkan dapat mendeteksi perilaku red flag, termasuk kekerasan verbal, fisik, bahkan pelecehan seksual.