Bisnis.com, JAKARTA – Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menolak revisi Undang-Undang atau RUU TNI lantaran dianggap melegitimasi praktik dwifungsi militer dan membawa Indonesia kembali ke rezim Neo Orde Baru.
“DPR RI dan Presiden melalui usulan revisinya justru akan menarik kembali TNI ke dalam peran sosial-politik bahkan ekonomi-bisnis yang di masa Orde Baru terbukti tidak sejalan dengan prinsip dasar negara hukum dan supremasi sipil serta merusak sendi-sendi kehidupan demokrasi,” ujar perwakilan YLBHI dalam pernyataan resminya, Minggu (16/3/2025).
Selain itu, YLBHI juga menyoroti bahwa revisi UU TNI justru mengancam independensi peradilan dan memperkuat impunitas atau kekebalan hukum anggota TNI.
Apalagi, YLBHI juga melihat revisi UU TNI ini tidak dapat dilepaskan politik hukum Pemerintahan Rezim Prabowo-Gibran dengan melabrak prinsip supremasi sipil dan konstitusi.
Hal itu terjadi seiring dengan penempatan TNI setidaknya dalam 13 kementerian strategis berhubungan dengan transmigrasi, pertanahan, hingga politik yang tidak sejalan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
“Di saat bersamaan, mereka juga menempatkan tentara aktif di Bulog serta purnawirawan mengisi hampir seluruh struktur di Badan Gizi Nasional,” tulis YLBHI.
Baca Juga
Selain itu, YLBHI mengaku menyayangkan TNI juga sedang melakukan penambahan komando teritorial sebanyak: 3 di Pulau Sumatra, 5 (4 Kodam 1 Konstrad) di Pulau Jawa, 1 di Pulau Bali, 2 di Pulau Kalimantan, 2 di Pulau Sulawesi, 1 di Pulau Maluku, dan 2 di Pulau Papua.
Jika dibiarkan, YLBHI mengingatkan hal ini dapat berdampak serius pada masa depan demokrasi, tegaknya negara hukum, serta meningkatkan eskalasi pelanggaran berat HAM di masa mendatang.
Selain proses pembahasannya yang dinilai tertutup dan minim partisipasi publik, YLBHI mencatat adanya empat poin bermasalah dalam substansi RUU TNI. Pertama, dengan memperpanjang masa pensiun yang dinilai dapat menambah persoalan penumpukan perwira non-job dan penempatan ilegal perwira aktif di jabatan sipil.
Kedua, perluasan jabatan sipil bagi perwira TNI aktif yang berpotensi mengancam supremasi sipil, menggerus profesionalisme, dan independensi TNI.
Ketiga, dengan membuka ruang bagi TNI untuk ikut campur dalam politik dan keamanan negara yang bertentangan dengan prinsip netralitas militer dalam sistem demokrasi.
Keempat, aturan ini diyakini turut menganulir peran DPR dalam persetujuan operasi militer selain perang yang dinilai mengurangi mekanisme pengawasan terhadap penggunaan kekuatan militer.
YLBHI bersama elemen masyarakat sipil lainnya mendesak DPR dan pemerintah untuk membatalkan revisi UU TNI ini dan membuka ruang diskusi yang lebih luas bagi publik.
“DPR dan Presiden harus terbuka dan memastikan ruang partisipasi bermakna Masyarakat dan memastikan revisi TNI dilakukan untuk memperkuat agenda reformasi TNI dalam kerangka tegaknya supremasi sipil, konstitusi, demokrasi dan perlindungan HAM,” pungkas YLBHI.