Bisnis.com, JAKARTA – Presiden Prabowo Subianto berambisi mewujudkan swasembada pangan di tengah ketergantungan terhadap beras impor dan tren lahan pertanian di lumbung pangan yang terus menyusut.
Prabowo bahkan mengingatkan Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman supaya segera merealisasikan swasembada pangan.
Prabowo menyatakan bahwa masalah pangan adalah isu krusial yang berkaitan langsung dengan kedaulatan dan kemerdekaan bangsa.
“Masalah pangan adalah hidup dan matinya bangsa Indonesia. Ini masalah kedaulatan, masalah kemerdekaan, dan survival kita sebagai bangsa. Kalau mau maju, pangan harus aman dulu,” katanya saat melakukan inspeksi tersebut.
Ketua Umum Gerindra itu menegaskan komitmen pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan petani sebagai produsen utama pangan.
Salah satunya, kata Prabowo, pemerintah RI telah menetapkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk gabah kering panen sebesar Rp6.500 per kilogram. Bahkan, dirinya siap mengeluarkan PP pendukung yang terkait kebijakan swasembada pangan.
Baca Juga
“Saya siap keluarkan Peraturan Pemerintah (PP). Saya tidak main-main. Ini adalah masalah kebangsaan. Pengusaha harus untung, tapi tidak boleh seenaknya. Semua pihak harus menang, mulai dari produsen, petani, pengusaha, hingga konsumen,” ujarnya.
Dalam arahannya, Presiden Ke-8 RI itu juga mengingatkan agar penggilingan padi di daerah tidak merugikan petani. Dia menegaskan siap mengambil langkah tegas jika ditemukan pelanggaran.
Prabowo pun optimistis Indonesia akan menjadi negara yang sukses dalam mewujudkan swasembada pangan.
Dia menegaskan bahwa target yang diberikan selama empat tahun dapat dicapai lebih cepat dengan kerja sama semua pihak. “Indonesia akan jadi negara sukses, saya sangat yakin itu. Sekarang sudah terbukti bahwa target yang saya berikan empat tahun, tapi dalam waktu dekat kita akan swasembada,” pungkas Prabowo.
Dominan Jawa, Lahan Menyusut
Pulau Jawa masih menjadi lumbung pangan, khususnya beras, di tengah konversi besar-besaran lahan pertanian akibat pembangunan infrastruktur dan gembar-gembor industrialisasi.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) memaparkan bahwa produksi beras di Pulau Jawa berada di kisaran 16,35 juta ton atau 53,4% dari total produksi beras nasional selama tahun 2024 yang tercatat mencapai 30,6 juta ton.
Kendati masih menjadi penopang produksi beras nasional, namun secara jumlah produksi beras di Pulau Jawa mengalami pengusutan dibandingkan tahun sebelumnya. Pada 2023, produksi beras di 5 provinsi utama di Pulau Jawa, tercatat sebanyak 17,35 juta ton atau 55,7% dari produksi nasional sebanyak 31,1 juta ton.
Artinya jika dibandingkan jumlah produksi beras antara tahun 2024 dan tahun 2023 terjadi penurunan produksi sebesar 480.000 ton atau menyusut sebesar 1,5%.
Dalam catatan BPS, pemicu turunnya produksi beras tidak bisa dilepaskan dari jumlah luas panen yang juga mengalami penyusutan. Pada tahun 2024, hampir semua provinsi penghasil padi mengalami penurunan luas panen padi.
Total luas panen padi secara nasional sebanyak 10,05 juta hektare dengan produksi padi sebanyak 53,14 juta ton pada tahun 2024. Padahal pada tahun sebelumnya, luas panen padi mencakup lahan seluas 10,21 juta hektare dengan total produksi padi sebanyak 53,98 juta ton.
Tren penurunan luas panen padi itu sejatinya sudah terjadi sejak 2021 lalu. Pada waktu itu, BPS mencatat bahwa luas panen padi seluas 10,41 juta hektare atau turun dibandingkan 2020 yang mencapai 10,66 juta hektare.
Namun demikian, angka itu naik tipis pada tahun 2022 menjadi 10,45 juta hektare. Tahun 2023, luas panen padi tercatat anjlok ke angka 10,21 juta hektare dan tahun ini menyusut lagi di angka 10,05 hektare.
Beras Pemicu Kemiskinan
Adapun, Badan Pusat Statistik (BPS) juga telah merilis data terbaru mengenai tingkat kemiskinan di Indonesia. Secara umum kemiskinan memang turun. Persentasenya di angka 8,57%.
Turunnya angka kemiskinan, tidak serta merta disimpulkan bahwa masyarakat Indonesia mulai sejahtera. Apalagi, jika dicermati, naik turunnya angka kemiskinan itu dipicu oleh sejumlah faktor, salah satunya adalah baseline yang digunakan BPS untuk menentukan orang itu miskin, menengah, atau berpenghasilan tinggi.
BPS mematok baseline pengeluaran masyarakat yang masuk kategori hidup di garis kemiskinan senilai Rp566.655 untuk wilayah pedesaan dan Rp615.763 di perkotaan per kapita per bulan. Alhasil, nilai rata-rata garis kemiskinan per September 2024, sebesar Rp595.242. Angka itu naik 2,11% dibandingkan Maret 2024 yang hanya tercatat sebesar Rp582.932.
Namun demikian, jika memakai standar yang ditetapkan oleh Bank Dunia, sebesar US$2,15 per hari, angka kemiskinan Indonesia akan lebih tinggi dibandingkan yang dipaparkan oleh BPS belum lama ini.
Sekadar ilustrasi, jika menerapkan standar Bank Dunia di angka US$2,15. Warga Indonesia yang memiliki pengeluaran di bawah US$65,39 atau Rp1,04 juta seharusnya masuk kategori kemiskinan ekstrem. Itu artinya, jumlah orang yang masuk kategori miskin akan lebih banyak lagi dibanding angka versi BPS. Ada yang bilang 40% dari populasi.
Terlepas dari standar mana yang dipakai, BPS juga memaparkan fakta bahwa makanan menyumbang kemiskinan dibandingkan barang non makanan. Di perkotaan, misalnya, masyarakat miskin menghabiskan 73,5% dari total pengeluarannya untuk makanan.
Sementara itu, orang pedesaan persentasenya lebih banyak lagi. Mereka menghabiskan lebih dari 75% dari total pengeluarannya untuk makanan.
Adapun beras adalah komoditas makanan yang paling banyak menyumbang kemiskinan. Di perkotaan, masyarakat yang hidup di garis kemiskinan mengalokasikan 21,01% pengeluarannya untuk membeli beras. Sedangkan di pedesaan lebih tinggi lagi, sebanyak 24,93%.
Beras adalah makanan pokok utama masyarakat Indonesia. Data itu menginformasi bahwa mayoritas pengeluaran orang yang hidup di garis kemiskinan digunakan untuk mengonsumsi kebutuhan pokok.