Bisnis.com, JAKARTA - Kurang dari dua minggu, Joko Widodo (Jokowi) bakal lengser dari kursi RI 1 dan digantikan oleh Prabowo Subianto saat pelantikan Presiden dan Wakil Presiden pada 20 Oktober 2024.
Saat pelantikan nanti, rakyat Indonesia akan memiliki Presiden baru, yaitu Prabowo Subiato, yang akan memimpin republik ini selama 5 tahun ke depan atau periode 2024-2029.
Selain transisi pemerintahan secara konstitusional, Jokowi juga melimpahkan program dan kebijakan yang belum diselesaikan di masa kepemimpinan dirinya selama 10 tahun terakhir. Jokowi memang telah mewariskan pembangunan infrastruktur dan aturan-aturan yang bisa mempermudah masuknya investasi, khususnya modal asing, ke dalam negeri.
Sayangnya, tidak semua hal-hal baik diwariskan pemerintahan Jokowi ke Prabowo. Beberapa 'beban' yang akan diturunkan Jokowi ke pemerintah Prabowo dan Gibran Rakabuming, putra sulung Jokowi, antara lain kelanjutan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), utang pemerintah, hingga kepastian tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% dan cukai rokok.
Berikut Deretan ‘Beban’ yang Dilimpahkan Pemerintahan Jokowi ke Prabowo
1. Keppres IKN
Jokowi menyebut bahwa Presiden terpilih Prabowo Subianto seharusnya menandatangani Keputusan Presiden (Keppres) terkait dengan pemindahan status ibu kota dari Jakarta ke Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara.
“Iya semestinya begitu, Presiden yang baru [yang meneken Keppres]. Pak Prabowo,” ujarnya kepada wartawan usai menghadiri agenda Nusantara Tentara Nasional Indonesia (TNI) Fun Run 2024 di Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, Minggu (6/10/2024).
Baca Juga
Jokowi mengatakan bahwa Prabowo yang akan meneken keputusan untuk memindahkan Ibu Kota dari Jakarta ke Kalimantan Timur. Dalam masa pemerintahannya, kesiapan pembangunan infrastuktur di IKN masih berjalan pada tahap awal.
Selain infrastruktur utama, Jokowi mengatakan fasilitas pendukung juga harus siap untuk menyambut penerbitan aturan itu, termasuk sumber daya manusia (SDM) dan ekosistem yang akan berjalan di sana.
“Sekali lagi saya sampaikan memindahkan Ibu Kota itu tidak hanya fisiknya saja tetapi membangun ekosistemnya itu yang perlu dan ekosistem itu harus jadi sehingga kalau namanya kita pindah itu Rumah Sakit (RS) siap saat dibutuhkan, pendidikan untuk anak-anak kita juga siap, sekolah dibutuhkan dari TK, SD, SMP, SMA, SMK, sampai Universitas,” tuturnya.
Menurutnya, pemerintah selalu memantau perkembangan dari pembangunan Ibu Kota di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur itu sehingga tak akan secara terburu-buru dalam menekan Keppres.
“Belum lagi, keramaian ada restoran, warung-warung juga diperlukan. Dan masalah yang berkaitan dengan logistik di mana kita mencari suatu barang di mana kita mencari sesuatu ingin beli barang, semuanya itu harus siap,” pungkas Jokowi.
2. Utang Jatuh Tempo Pemerintah
Kemenkeu mencatat posisi utang pemerintah mencapai Rp8.461,93 triliun per 31 Agustus 2024 atau setara 38,49% terhadap produk domestik bruto (PDB).
Jumlah tersebut turun sekitar Rp40,76 triliun dibandingkan posisi utang pemerintah pada bulan sebelumnya atau Juli 2024 sebesar Rp8.502,69 triliun. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pun mengklaim pihaknya terus mengelola utang secara berkelanjutan.
"Pemerintah mengelola utang secara cermat dan terukur untuk mencapai portofolio utang yang optimal dan mendukung pengembangan pasar keuangan domestik," jelas Sri Mulyani dalam dokumen APBN KiTa September 2024, dikutip Kamis (26/9/2024).
Dia merincikan komposisi utang pemerintah terdiri atas Rp7.452,65 triliun dari surat berharga negara (SBN) dan pinjaman Rp1.009,37 triliun. Lebih lanjut, utang SBN terdiri dari domestik sebesar Rp6.063,41 triliun dan valas senilai Rp1.389,14 triliun. Sementara itu, pinjaman terdiri dari pinjaman dalam negeri senilai Rp39,63 triliun dan pinjaman luar negeri Rp969,74 triliun.
Di sisi lain, sejumlah fraksi di DPR mewanti-wanti pemerintah ihwal tingginya utang jatuh tempo senilai Rp800,3 triliun pada 2025 yang harus dilunasi presiden terpilih periode 2024—2029 Prabowo Subianto.
Peringatan tersebut disampaikan oleh fraksi PDI Perjuangan (PDIP), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), hingga Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ketika sampaikan pandangan umum atas RAPBN 2025 beserta Nota Keuangannya dalam Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat pada Selasa (20/8/2024).
Perwakilan Fraksi PDIP Adisatrya Suryo Sulisto menjelaskan, pihaknya memiliki banyak catatan atas RAPBN 2025 yang disusun pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terutama soal defisit anggaran 2,53% atau setara Rp616 triliun dari PDB.
Untuk menutup defisit tersebut, sambungnya, pemerintahan Prabowo nantinya akan bertumpu pada pembiayaan utang. Oleh sebab itu, Adi mengingatkan agar pemerintah ke depan hati-hati memanfaatkan sumber-sumber pembiayaan yang ada. PDIP, sambungnya, menganggap pembiayaan utang memiliki resiko untuk membebani fiskal APBN di masa mendatang. Apalagi, utang jatuh tempo pada tahun depan tidak sedikit.
"Pemerintah harus dapat mengantisipasi beban utang jatuh tempo pada tahun 2025," ujar Adi dalam rapat.
Sementara itu, Dewan Pakar Partai Amanat Nasional (PAN) Dradjad H. Wibowo tidak menampik pemerintah punya utang jatuh tempo senilai Rp800,3 triliun pada tahun depan. Nilai tersebut terdiri dari utang jatuh tempo surat berharga negara (SBN) senilai Rp705,5 triliun dan pinjaman senilai Rp94,83 triliun.
Dradjad sendiri merupakan salah satu anggota tim penyusun visi-misi perekonomian pasangan Prabowo-Gibran. Menurutnya, pemerintahan Prabowo akan mengantisipasi beban pembayaran utang tersebut dengan melakukan terobosan di bidang penerimaan negara.
"Kalau kita enggak sanggup melakukan terobosan di bidang penerimaan negara, utang kita akan membengkak," ujar Dradjad.
Menurutnya, terdapat sejumlah strategi yang dapat dilakukan untuk menggenjot penerimaan negara. Pertama, mengejar sumber penerimaan yang bersifat ad-hoc, seperti menggali kasus-kasus pajak yang sudah inkracht. Lalu, pemerintah dapat melakukan perombakan sistem teknologi informasi (TI), terutama untuk penarikan pajak pertambahan nilai (PPN).
"PPN kita itu kan realisasinya hanya sekitar 4%—5%, sekitar segitu saja, padahal rate-nya 11%, artinya ada 6%—7% yang hilang. Enggak mungkin semuanya karena pembebasan PPN, sebagian pasti kelemahan di dalam sistem, kalau bisa 1% naik saja [peluang yang terkumpul], 1% dari PDB itu sudah Rp200 triliun," ujar Dradjad.
3. Kenaikan Tarif PPN 12%
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memutuskan belum akan menaikkan tarif cukai rokok pada tahun 2025 mendatang. Di sisi lain, keputusan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tahun depan masih menunggu keputusan pemerintahan selanjutnya di bawah Prabowo Subianto.
Wakil Menteri Keuangan II Thomas Djiwandono menegaskan bahwa kenaikan PPN 12% akan diserahkan kepada pemerintahan presiden terpilih Prabowo Subianto karena akan terjadi pada 2025.
“Sekali lagi, PPN, biarlah Pak Prabowo menjadi presiden dahulu ya. Pastilah nanti akan ada penjelasan lebih lanjut kalau sudah ada kabinet yang terbentuk,” ungkap Thomas dalam Media Gathering APBN 2025, Rabu (25/9/2024).
Jauh sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan bahwa kenaikan tarif pajak yang direncanakan pada tahun depan tersebut berada di tangan Paman dari Thomas Djiwandono tersebut. Di mana nantinya Prabowo akan membahas hal tersebut, dan nantinya dapat meminta persetujuan Komisi XI DPR.
“[PPN 12%] Saya menyerahkan kepada pemerintahan baru untuk memutuskannya,” ujarnya dalam konferensi pers pada akhir Juni lalu.
Untuk diketahui, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 yang disahkan dalam Rapat Paripurna pekan lalu (19/9/2024) menggunakan asumsi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 11%.
Asumsi ini sejatinya belum memenuhi mandat Undang-Undang (UU) No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Dalam regulasi yang disahkan pada era Covid-19 itu, besaran Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% per 1 Januari 2025.
Sementara itu, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Drajad Wibowo menilai bahwa kenaikan tarif PPN menjadi 12% akan membebani perekonomian, karena konsumsi berpotensi tertekan. Apalagi, saat ini jumlah kelas menengah Indonesia terus turun dan daya beli yang kian anjlok.