Bisnis.com, JAKARTA -- Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan menggelar debat calon wakil presiden (cawapres). Debat akan berlangsung di Jakarta Convention Center (JCC) pada hari, Jumat (22/12/2023).
Debat putaran kedua ini akan menghadirkan tiga sosok cawapres. Ketiganya yakni Muhaimin Iskandar alias Cak Imin , Gibran Rakabuming Raka, dan Mahfud MD. Mereka akan mendebatkan isu ekonomi kerakyatan, ekonomi digital, keuangan, investasi, pajak, perdagangan, pengelolaan APBN/APBD, infrastruktur, dan perkotaan.
Baik Cak Imin, Gibran dan Mahfud MD telah memiliki pengalaman dalam dunia birokrasi. Cak Imin, misalnya, kenyang pengalaman politik bahkan pernah menjadi Menteri Ketenagakerjaan dan saat ini Wakil Ketua DPR. Sementara itu, Gibran berpengalaman di bisnis usaha rintisan dan pernah menjadi Wali Kota Surakarta alias Solo.
Mahfud yang paling senior dari kandidat cawapres, pengalamannya malang melintang di dunia akademis, birokrasi baik di eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Jabatan terakhirnya adalah Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam).
Isu ekonomi perlu menjadi perhatian yang cukup serius dari peserta debat. Ada sejumlah isu, tidak hanya terkait dengan keberlanjutan atau perubahan kebijakan tetapi juga terkait berbagai masalah struktural, yang perlu dibahas oleh peserta debat.
Isu Stagnasi Ekonomi
Sejak pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), pertumbuhan ekonomi Indonesia memang terjebak di angka 5 persen. Tidak pernah mencapai 6 persen (year on year) apalagi 7 persen, angka yang sempat tercantum dalam target pada awal pemerintahannya dulu.
Baca Juga
Tren stagnasi ekonomi ini bisa menjegal ambisi Indonesia naik kelas ke negara maju dan berpotensi terjebak sebagai negara berpendapatan menengah alias middle income trap. Kalau itu terjadi, Indonesia akan ketinggalan dari negeri di kawasan Asia Tenggara lainnya, salah satunya Vietnam.
Vietnam adalah negara di Asia Tenggara yang memiliki pertumbuhan ekonomi cukup impresif. Sekadar catatan, pada kuartal 3/2023, negara Paman Ho itu mampu tumbuh di angka 5,3 persen. Sementara jika melihat tren pertumbuhan tahunan, Vietnam jauh lebih baik dibandingkan dengan Indonesia.
Pada tahun 2015 misalnya, pertumbuhan ekonomi Vietnam jika mengacu data Bank Dunia, berada di angka 7 persen. Pada 2016 sempat melambat di angka 6,7 persen, namun naik lagi pada tahun 2017 menjadi 6,9 persen.
Sejak saat itu, tren pertumbuhan ekonomi Vietnam berada di atas level 7 persen. Tahun 2018 mampu tumbuh di angka 7,5 persen dan tahun 2019 berhasil tumbuh di angka 7,4 persen.
Perlu dicatat, tahun 2018 dan 2019, dunia mengalami ketidakpastian. Pemicunya adalah kebijakan pemerintahan presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang mengobarkan perang dagang alias trade war dengan China. Vietnam dapat momentum pengalihan investasi AS dari China.
Kendati demikian, ekonomi Vietnam sempat terpuruk ketika pandemi Covid-19 menerjang. Pada tahun 2020, ekonomi Vietnam hanya mampu tumbuh di angka 2,9 persen, turun lagi pada 2021 sebanyak 2,6 persen. Namun pada tahun 2022, seiring relaksasi kebijakan pandemi, pertumbuhan ekonomi Vietnam jauh lebih atraktif, tembus ke angka 8 persen.
Capaian ini lagi-lagi di atas Indonesia. Pada tahun 2022 lalu, pun sudah didukung oleh lonjakan harga komoditas, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya di angka 5,3 persen. Angka itu merupakan capaian paling tinggi selama pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Sementara itu, rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia 2015-2022 hanya di kisaran 4,5-an persen. Jauh lebih rendah dibandingkan dengan Vietnam yang rata-ratanya mencapai 7 persen.
Manufaktur Rontok, Informal Dominan
Tren stagnasi ekonomi Indonesia yang hanya tumbuh di angka 5 persen dipicu oleh banyak aspek salah satunya tren kinerja sektor manufaktur. Jika melihat struktur pertumbuhan ekonomi kuartal 3/2023, kontribusi manufaktur terhadap produk domestik bruto hanya di kisaran 18 persen atau tepatnya 18,75 persen.
Angka ini memang lebih baik dibandingkan kontribusi manufaktur ke PDB pada kuartal 3/2022 yang hanya 17,97 persen. Namun demikian, jika dibandingkan dengan kuartal 3/2019, 2020, dan 2021, angka 18,75 persen jauh lebih rendah. Pasalnya, pada waktu itu, kontribusi manufaktur ke PDB pada kuartal 3 berada di atas 19 persen. Secara teoritik, Indonesia sedang berada fase deindustrialisasi atau penurunan kontribusi industi pengolahan alias manufaktur terhadap PDB.
Penurunan kontribusi tersebut tentu menjadi alarm dini, pasalnya manufaktur adalah penyumbang utama PDB Indonesia. Selain itu, jika melihat benchmark, di level internasional, negara dengan struktur manufaktur yang mapan, cenderung memiliki ekonomi yang jauh lebih stabil, ketimbang negara-negara yang menggantungkan perekonomiannya dari sisi komoditas.
Indonesia, sejauh ini masih sangat tergantung dengan komoditas. Kinerja perekonomian tahun 2022 lalu mengonfirmasi keterkaitan antara kenaikan harga komoditas dengan capaian pertumbuhan 5,3 persen. Kontribusi pertambangan ke PDB naik, sementara manufaktur tertekan.
Dampak paling terasa dari menurunnya kinerja manufaktur adalah jumlah pekerjanya yang fluktuatif bahkan cenderung turun. Pada Agustus 2019 misalnya, jumlah pekerja sektor manufaktur menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) mencapai 14,96 persen, kemudian turun menjadi 13,61 persen pada Agustus 2020 (efek pandemi). Agustus tahun 2021 jumlah pekerja manufaktur naik menjadi 14,26 persen.
Namun demikian, pada tahun Agustus 2022, kontribusi manufaktur ke total jumlah pekerja di Indonesia turun menjadi 14,17 persen. Kontribusi manufaktur terus terkoreksi pada tahun Agustus 2023 tersisa 13,83 persen. Pada Agustus 2023 total orang Indonesia yang bekerja mencapai 139,85 juta orang. Itu artinya saat ini orang yang bekerja di sektor manufaktur hanya 19,34 juta orang.
Yang menarik dari struktur pekerja di Indonesia itu adalah adanya dominasi sektor informal yang cukup besar. Pada Agustus 2023 jumlah pekerja informasi mencapai 59,11 persen. Sementara pekerja formal hanya sebesar 40,89 persen.
Memang ada tren penurunan pekerja informal dibandingkan Agustus 2022 yang sebanyak 59,31 persen dan Agustus 2021 sebesar 59,45 persen. Apalagi dibandingkan dengan Agustus 2020, angkanya mencapai 60,47 persen karena pandemi yang memicu pelemahan kinerja ekonomi. Kondisi ini berimbas kepada sektor pekerjaan formal mengalami tekanan yang sangat dalam.
Akan tetapi, jika pembandingnya menggunakan angka-angka pra pandemi, angka pekerja informal pada Agustus 2023 yang mencapai 59,31 persen masih relatif tinggi. Angka 59,31 persen, ini mirip dengan angka Agustus 2014, atau tahun pertama Jokowi memenangkan kursi sebagai presiden menggantikan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yakni sebesar 59,38 persen.
Pada Agustus 2015 angka informalitas memang mulai menurun menjadi 57,76 persen, Agustus 2016 57,6 persen, pada Agustus 2017 turun menjadi 57,03 persen, turun lagi pada Agustus 2018 menjadi 56,84 persen dan Agustus menjadi 55,72 persen.
Di sisi lain, harus diakui bahwa Indonesia telah naik kelas sebagai negara berpenghasilan menegah atas atau upper middle income country. Pendapatan per kapita penduduk Indonesia rata-rata di angka US$4.580.
Namun, kemiskinan juga masih menjadi pekerjaan rumah. Sejak Maret 2015-Maret 2023, jumlah kemiskinan hanya turun 1,86 persen atau tidak seprogresif periode 2004-2014. Pada kurun waktu 2004-2014 kemiskinan turun dari 16,66 persen menjadi 10,66 persen atau 5,7 persen.
Berbagai persoalan struktural tersebut kemudian juga berimbas kepada pengelolaan anggaran. Soal pajak, misalnya, sampai dengan saat ini rasio pajak Indonesia masih sangat rendah jika dibandingkan dengan negara G20. Rasio pajak Indonesia hanya 10,39 persen. Sebaliknya, tarikan utang yang terus menerus, dan rezim anggaran yang gali lubang tutup lubang, telah mengakibatkan peningkatan rasio utang yang cukup signifikan. Proyeksi IMF rasio utang Indonesia di angka 39 persen.
Dari sisi jumlah, Indonesia masih lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara lainnya, misalnya Jepang atau Amerika Serikat yang angkanya lebih dari 100 persen produk domestik bruto (PDB). Namun demikian, dengan rasio pajak yang hanya 10,36 persen, maka Indonesia jika mengacu kepada standar IMF yang di angka 15 persen, Indonesia memiliki risiko dari sisi fiskal untuk melakukan pembangunan yang berkelanjutan.