Bisnis.com, JAKARTA – Bak simalakama, pemerintah seakan hanya mempunyai dua opsi mengatasi polusi udara yaitu menyodorkan kendaraan listrik dengan berbagai subsidi tapi menyedot listriknya dari batu bara, atau mengerek kualitas bahan bakar minyak (BBM) yang beredar.
Guna menekan polusi udara, peralihan penggunaan kendaraan listrik dinilai merupakan salah satu langkah strategis, meskipun sumber energi listrik justru berasal dari batu bara.
Salah satu yang meyakini hal itu adalah Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa. Dia menilai bahwa penggunaan electric vehicle (EV) merupakan solusi untuk mengurangi polusi dari sektor transportasi yang notabene semakin signifikan karena kemacetan di Ibu Kota.
"Polusi dari sektor transportasi itu semakin terasa karena kemacetan. Motor dan mobil ICE [mesin bakar konvensional] pembakaran BBM-nya jalan terus ketika macet, waktu tempuh jadi lebih panjang, padahal jarak sama saja," ujar Fabby kepada Bisnis, Selasa (12/9/2023).
Terlebih, saat ini mayoritas BBM yang digunakan masyarakat, yaitu Solar 48, Dexlite 51, dan Pertalite 90 tergolong masih berada di bawah standar emisi yang ditetapkan regulasi, yaitu EURO 3 untuk motor dan EURO 4 untuk mobil.
"Artinya, menggunakan mobil listrik merupakan salah satu cara berperan mengurangi polusi. Karena sama saja ikut mengurangi pembakaran bensin di bawah standar emisi itu, apalagi terkait pemborosan karena bermacet-macetan," tambahnya.
Baca Juga
Fabby membenarkan bahwa menggunakan EV memang masih menyumbang emisi gas buang karena mayoritas pembangkit listrik di Indonesia masih menggunakan sumber bahan bakar fosil, terutama PLTU batu bara.
Namun, menurut perhitungannya, sekalipun 85-90 persen sumber listrik yang digunakan untuk mengisi baterai EV masih berasal dari pembangkit listrik berbasis batu bara, efisiensi terhadap emisi karbon masih lumayan besar dibandingkan dengan kendaraan konvensional.
Sebagai contoh, dengan teknologi mobil listrik saat ini yang bisa memaksimalkan daya 1 KWH untuk jarak 6 km, emisi yang dihitung dari pemakaian listrik hanya 125-150 gram per km.
"Bandingkan dengan rata-rata mobil ICE saat ini, rata-rata emisinya sekitar 230 gram per kilometer, belum lagi kalau kena macet. Jadi bukan berarti menggunakan EV itu percuma karena di sini masih banyak PLTU batu bara," jelas Fabby.
Terkait PLTU batu bara, Fabby menilai pemerintah telah mengantongi rencana bauran energi terbarukan sebesar 23 persen pada 2025, 34 persen pada 2030, hingga mendekati nol emisi pada 2060 atau lebih awal.
"Saat ini, dengan kecepatan transisi energi seperti sekarang, memang cukup berat mengejar target pada 2025. Tapi masih masuk akal untuk target 2030, karena patut diakui, pembangkit listrik batu bara itu memang murah. Pilihan untuk membatasinya tidak mudah kalau dilihat dari sisi keekonomian," ungkapnya.
Transportasi Umum
Senada, pengamat perkotaan dari Universitas Trisakti Yayat Supriyatna menekankan bahwa bagaimanapun, polusi terbesar di Ibu Kota berasal dari sektor transportasi, terutama karena kemacetan dari para pengendara roda empat.
"Mau tidak mau, sepeda motor itu penyelamat bagi pekerja berkantong tipis. Gajinya pas-pasan, dan berat kalau disuruh naik angkutan umum karena rumahnya di pinggiran. Sebenarnya yang tidak mau pindah ke angkutan umum itu kan kelas menengah ke atas. Makin tua dan makin kaya, mana mau beralih ke angkutan umum," ujarnya.
Oleh sebab itu, menurut Yayat, pemerintah tidak perlu terlalu banyak memberikan subsidi bagi kendaraan listrik yang ditujukan untuk segmen menengah ke atas.
"Kendaraan listrik itu, di baliknya ada unsur bisnis dari para penguasa juga. Jadi pemerintah harusnya lebih fokus memberikan subsidi angkutan umum besar-besaran secara nasional kalau mau serius mengurangi polusi dari kendaraan," tambah Yayat.
Bagi Yayat, saat ini kelemahan utama angkutan umum di Ibu Kota adalah integrasi first mile last mile yang belum terbangun secara utuh, sehingga kelas menengah ke bawah lebih memilih sepeda motor untuk menopang mobilitasnya.
Dia pun mengharapkan ada tarif layanan transportasi umum terintegrasi berbasis langganan bulanan. Melalui mekanisme ini, subsidi berperan mengakomodasi masyarakat untuk menggunakan transportasi umum sepuasnya dalam sekali transaksi.