Bisnis.com, JAKARTA – Dua senior Partai Golkar, Jusuf Kalla dan Luhut Binsar Panjaitan mengaku ikhlas apabila partainya tidak mengusung kader terbaiknya sebagai calon presiden atau wakil presiden (capres-cawapres) di ajang Pilpres 2024.
Pada Minggu (13/8/2023), Golkar resmi menyatakan dukungan atas pencapresan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto di Pilpres 2024. Artinya, peluang kader Golkar untuk jadi capres tertutup dan peluang jadi cawapres semakin sempit.
Selain Golkar, Prabowo juga didukung oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Amanat Nasional (PAN). Masalahnya, baik PKB dan PAN juga mengajukan tokoh pilihannya untuk jadi cawapres Prabowo.
Sejak berkoalisi dengan Gerindra pada Agustus 2022, PKB sudah mendorong agar ketua umumnya Muhaimin Iskandar alias Cak Imin jadi pendamping Prabowo. Sementara itu, PAN juga terang-terangan dorong Menteri BUMN Erick Thohir untuk jadi cawapres Prabowo.
Golkar sendiri sempat mendorong ketua umumnya Airlangga Hartarto agar maju di ajang Pilpres 2024. Namun, elektabilitas Airlangga masih cenderung rendah.
Dalam survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 1 – 8 Juli 2023 misalnya, dalam simulasi 24 nama cawapres semi terbuka Airlangga hanya memperoleh 2,6 persen.
Baca Juga
Sebagai perbandingan, dalam survei Indikator Politik Indonesia pada 20 – 24 Juni 2023 elektabilitas Airlangga sebesar 1,2 persen di simulasi 17 nama cawapres semi terbuka.
Sejak Era Reformasi, Golkar notabenenya kerap mengusung kader terbaiknya maju di ajang pilpres. Pada Pilpres 2004 ada Wiranto, Pilpres 2009 ada Jusuf Kalla, dan Pilpres 2014 Jusuf Kalla kembali maju.
Hanya pada Pilpres 2019 Golkar tak usung kadernya untuk jadi capres atau cawapres. Pertanyaannya, apakah kejadian 2019 akan terulang lagi pada Pilpres 2024?
JK: Lihat Realita
Mantan Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Kalla alias JK menghormati pilihan politik partainya yang mendukung pencapresan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto di ajang Pilpres 2024.
JK menjelaskan, bagaimanapun Golkar sendiri tak bisa mencalon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) karena belum memenuhi aturan presidential threshold 20 persen. Mau tak mau, Golkar harus berkoalisi dengan partai politik lain.
"Ya tiap partai kan perlu berkoalisi. Ya tentu kita menghargai hal tersebut, tinggal mereka menjalankan proses selanjutnya bagaimana teknisnya," ujar JK di Markas PMI Pusat, Jakarta Selatan, Senin (14/8/2023).
Dia mengakui keputusan musyawarah nasional (munas) Partai Golkar 2019 memutuskan ketua umumnya Airlangga Hartarto menjadi capres di Pilpres 2014.
Meski demikian, kenyataan politik sekarang menyulitkan Golkar dapat dukungan dari partai politik lain untuk sama-sama dukung pencapresan Airlangga.
"Ya sulit. Orang Golkarnya juga itu melihat kenyataan yang ada," jelas mantan wakil presiden ini.