Bisnis.com, JAKARTA - Data International Labor Organization (ILO) mencatat sekitar 15 persen dari jumlah penduduk di dunia adalah penyandang disabilitas lebih dari satu miliar orang.
Mereka terbilang kelompok minoritas terbesar di dunia. Sekitar 82 persen dari penyandang disabilitas berada di negara-negara berkembang dan hidup di bawah garis kemiskinan dan kerap kali menghadapi keterbatasan akses atas kesehatan, pendidikan, pelatihan dan pekerjaan yang layak.
Penyandang disabilitas perempuan memiliki risiko lebih besar dibandingkan penyandang disabilitas laki-laki. Kemiskinan mereka terkait dengan sangat terbatasnya peluang mereka atas pendidikan dan pengembangan keterampilan.
Hampir sebanyak 785 juta perempuan dan laki-laki dengan disabilitas berada pada usia kerja, namun mayoritas dari mereka tidak
bekerja. Mereka yang bekerja umumnya memiliki pendapatan yang lebih kecil dibandingkan para pekerja yang non-disabilitas
di perekonomian informal dengan perlindungan sosial yang minim atau tidak sama sekali.
Mengucilkan penyandang disabilitas dari angkatan kerja mengakibatkan kehilangan PDB sebesar 3 hingga 7 persen.
Lebih dari 90 persen anak-anak dengan disabilitas di negara-negara berkembang tidak bersekolah (UNESCO) sementara hanya
1 persen perempuan disabilitas yang bisa membaca (UNDP).
Baca Juga
Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, proporsi pekerja dengan disabilitas di Indonesia sebesar 0,53% pada 2022. Angka tersebut meningkat 0,12% poin dibandingkan pada tahun sebelumnya yang sebesar 0,21%.
Menurut jenis kelaminnya, proporsi pekerja laki-laki dengan disabilitas sebesar 0,54% pada 2022. Persentase itu lebih tinggi dibandingkan di antara pekerja perempuan yang sebesar 0,52%.
Dari daerah tempat tinggalnya, proporsi pekerja dengan disabilitas di perdesaan sebesar 0,64% pada tahun lalu. Sementara, proporsi pekerja dengan disabilitas di perkotaan sebesar 0,44%.
Berdasarkan status pekerjaannya, proporsi pekerja disabilitas paling banyak melakukan usaha sendiri, yaitu 0,81%. Posisinya diikuti penduduk bekerja yang berusaha dibantu buruh tidak tetap/tidak dibayar sebesar 0,78%.
Adapun, 42,35% pekerja yang mengalami disabilitas berada di sektor pertanian. Lalu, persentase pekerja disabilitas di sektor industri dan jasa masing-masing sebesar 17,7% dan 39,95%.
Untuk mendukung pekerja disabilitas, Frisian Flag Indonesia meluncurkan Program Young Flaggers for Differently-Abled Talent, FFI buka kesempatan bagi talenta muda penyandang disabilitas untuk mendapatkan pengalaman dan tingkatkan kemampuan profesional dengan bekerja di kantor Frisian Flag Indonesia
Program ini, memberikan peluang magang kerja bagi mereka yang mengalami keterbatasan fisik atau disabilitas..
Corporate Affairs Director Frisian Flag Indonesia, Andrew F. Saputro, mengatakan mereka terus mendorong value keberagaman dan inklusivitas di lingkungan kerja.
Dia mengatakan inklusivitas memperkaya keragaman perspektif, pengetahuan dan keterampilan, yang dapat membantu perusahaan menjadi lebih inovatif, kreatif, dapat lebih memahami kebutuhan konsumen, dan menjadi perusahaan yang terdepan.
"Karena itulah FFI memberikan kesempatan yang setara bagi generasi muda dengan disabilitas untuk mendapatkan pengalaman kerja di perusahaan global, mengembangkan keterampilan dan kepercayaan diri mereka," ujarnya.
Winda Yunita, HRGA Director Frisian Flag Indonesia, mengatakan FFI ingin menciptakan lingkungan kerja yang inklusif, di mana setiap individu dengan perbedaannya masing-masing merasa dihargai, didukung, dan memiliki kesempatan yang sama untuk tumbuh dan berkembang.
“FFI juga dapat belajar untuk membangun sistem dan infrastruktur yang ramah dan mendukung rekan-rekan dengan disabilitas, agar mereka dapat membuktikan diri untuk melampaui keterbatasan yang ada sekaligus menghapuskan stigma masyarakat terhadap penyandang disabilitas," paparnya.
Program ini terbuka bagi mereka yang menyandang keterbatasan fisik, gangguan penglihatan, dan gangguan pendengaran. Mereka terlibat dalam operasional sehari-hari perusahaan selama tiga bulan di kantor Frisian Flag Indonesia.
Proses seleksi untuk peserta program ini tidak dibedakan dan seperti proses seleksi karyawan pada umumnya karena didasarkan pada kompetensi. Semua orang dengan level pendidikan D3 hingga S1 dan berbagai pengalaman kerja, bisa melamar untuk mengikuti program ini.