Bisnis.com, JAKARTA - Gempa bermagnitudo 5,6 melanda Kabupaten Cianjur, Senin (21/11). Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per Minggu (27/11), korban meninggal dunia 321 orang dan korban hilang 11 orang. Korban luka-luka sebanyak 7.729 orang dengan perincian luka berat 545 orang, luka ringan 7.134 orang. Pengungsi mencapai 73.874 orang.
Sedangkan kerugian materiel sebanyak 56.320 rumah mengalami kerusakan dengan perincian rusak berat 22.241 unit rumah, rusak sedang 11.641 unit rumah, dan rusak ringan 22.090 unit rumah.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika mencatat, sepanjang 2022, telah ada 180 gempa bumi dengan magnitudo di atas 5 (21/1). Pemerintah sudah harus membangun infrastruktur kebencanaan sebagai upaya mitigasi bencana. Lalu, langkah apa yang harus dilakukan?
Pertama, pemerintah harus menerapkan manajemen risiko bencana yang terstruktur dan membangun konstruksi infrastruktur kebencanaan yang memiliki daya tahan terhadap beragam kebencanaan. Pembangunan infrastruktur harus memperhatikan aspek fungsional, memberikan sentuhan arsitektural, serta aman secara struktur.
Pemerintah harus terus mengembangkan penelitian, percobaan dan publikasi terkait kode bangunan dan infrastruktur kebencanaan, serta penerapan spesifikasi standar dan manual SNI Bangunan Gedung Tahan Gempa (2019). Bangunan gedung publik seperti sekolah, pasar, rumah sakit, dan kantor pemerintahan harus tahan terhadap guncangan gempa.
Kedua, pemerintah harus melakukan upaya pencegahan/antisipasi dan mitigasi pengurangan risiko bencana. Mitigasi gempa merupakan serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana gempa bumi, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana gempa bumi. Pembangunan kebencanaan merupakan infrastruktur yang menerapkan rancang bangun tahan gempa, didukung ilmu pengetahuan dan teknologi mitigasi bencana, serta teknologi konstruksi tahan gempa.
Baca Juga
Komite Keselamatan Bangunan Gedung yang dibentuk Kementerian PUPR berdasarkan Keputusan Menteri PUPR No. 93/KPTS/M/2019 dapat lebih aktif untuk tindakan preventif melakukan evaluasi kelayakan (audit) bangunan gedung publik, termasuk ketahanan akan bencana gempa.
Ketiga, untuk perumahan warga, Kementerian PUPR dapat membangun rumah tahan gempa teknologi Risha (rumah instan sederhana sehat) yang keandalannya terhadap guncangan gempa telah teruji.
Rumah Risha merupakan rumah sistem modular yang terdiri dari panel beton dengan ukuran standar yang dirakit menggunakan baut-mur sebagai struktur utama rumah. Untuk dinding bisa menggunakan batu bata atau kayu dan atap rangka baja ringan termasuk menggunakan material dari rumah yang rusak sebelumnya. Teknologi Rumah Risha dapat disosialisasikan dan diterapkan ke seluruh daerah, serta menjadi standar pembangunan rumah tinggal sehingga keamanan masyarakat dapat terjamin ketika terjadi gempa.
Keempat, sesuai Peraturan Presiden No. 87/2020 tentang Rencana Induk Penanggulangan Bencana 2020—2044 dan didukung Peta Rawan Bencana (Bappenas, BNPB, 2017), setiap kota/kabupaten diwajibkan menyusun/memiliki rencana induk penanggulangan bencana daerah. Kota tangguh bencana dipersiapkan dapat bertahan terhadap guncangan tanpa gangguan permanen atau gagal fungsi, memiliki kecenderungan untuk memulihkan diri atau menyesuaikan secara mudah terhadap perubahan mendadak atau kenahasan.
Berbagai tindakan harus dilakukan pemerintah untuk memperkuat bangunan dan mendirikan pusat manajemen bencana, serta program pendidikan untuk meningkatkan kesadaran tentang manajemen bencana sebagai bentuk infrastruktur sosial kebencanaan. Peran aktif masyarakat menentukan efektivitas penanggulangan bencana. Keterlibatan dan partisipasi seluruh unsur pentaheliks, mulai pemerintah, akademisi, pihak swasta, dan masyarakat serta media, menjadi penting dalam mengurangi risiko bencana dan menanggulangi dampak bencana. Kepedulian dan peran aktif masyarakat sebagai subyek dalam upaya penanggulangan bencana dimulai dari individu, keluarga, sampai komunitas.
Kelima, beragam kearifan lokal dalam merespons bencana tersebar di penjuru nusantara. Pengetahuan tradisi yang tumbuh di tengah masyarakat saat berinteraksi dengan alam tersebut telah banyak ditinggalkan. Kini, saatnya membangun kembali kearifan lokal di masa lampau itu sebagai benteng peredam risiko bencana di masa depan. Tingginya ancaman bencana di Indonesia dibarengi dengan kekayaan kearifan lokal dalam meredam dampaknya. Kearifan lokal itu perlu dihidupkan lagi sembari mentransformasikannya dengan pengetahuan dan teknologi terkini.
Kearifan lokal kesiapsiagaan bencana itu harus dibangun sejak dini mulai dari lingkungan terkecil, yakni keluarga tangguh bencana. Kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana akan menentukan besar kecilnya risiko dan dampak bencana yang akan diterima. Masyarakat dilatih memiliki kesiapsiagaan menghadapi bencana. Mereka tahu persis harus pergi kemana saat bencana tiba; mampu bertahan hidup, antisipasi ancaman dan potensi bahaya; penyelamatan jiwa dan penanganan bencana dengan cepat, tepat, dan akurat. Selain itu, kesadaran masyarakat dalam menghadapi bencana gempa juga harus didukung dengan sistem peringatan dini gempa yang mumpuni. Semoga.