Bisnis.com,JAKARTA - Pemerintah perlu merumuskan pedoman pengangkatan pejabat kepala daerah. Hal itu terekam dalam diskusi publik bertema “Penjabat Kepala Daerah: Kebijakan Pengangkatan dan Implikasi bagi Tata Kelola Pemerintahan Daerah”, di Jakarta, Kamis (6/10/2022).
Anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng dalam pengantarnya menyampaikan bahwa Ombudsman RI telah melakukan pemeriksaan terkait seluruh proses pengangkatan Penjabat Kepala Daerah dan menemukan praktik maladministrasi serta menyampaikan tindakan korektif kepada Mendagri.
“Yang dilihat oleh Ombudsman RI bukan hanya pada titik awal saat pengangkatan, melainkan menyeluruh saat penjabat berada di dalam masa menjabat, yakni terkait lingkup efektifivitas pelayanan, batasan kewenangan atau otoritas dan evaluasi kinerja, hingga pada putusan penjabat akan diperpanjang atau diberhentikan setelah masa kerja 1 tahun," jelas Robert.
Lebih lanjut, Asisten Ombudsman RI, Bellinda Dewanty menyampaikan terdapat 27 daerah pada tahun 2022 dan 170 daerah di tahun 2023 yang akan dilakukan pengangkatan Penjabat Kepala Daerah.
Oleh karenanya diperlukan kerja cepat pemerintah untuk merumuskan kebijakan yang bisa menjadi pedoman dalam pengangkatan Penjabat Kepala Daerah. Di sisi lain, saat ini dalam masa resolusi dan monitoring LAHP serta saran korektif Ombudsman RI perlu mendapat dukungan dari seluruh pihak untuk memastikan terdapat ruang partisipasi yang terbuka dalam prosesnya.
Sejalan dengan hal ini, Tenaga Ahli Utama Kedeputian V Kantor Staf Presiden, Sigit Pamungkas mengatakan pihaknya setuju atas saran perbaikan Ombudsman RI. Kemendagri sedang melakukan perbaikan regulasi.
Baca Juga
“Saat ini yang menjadi pedoman adalah Permendagri. Namun, kami telah mencatat saran Ombudsman RI untuk perumusan Peraturan Presiden terkait Penjabat Kepala Daerah untuk disampaikan kepada Presiden,” lanjut Sigit.
Pada kesempatan yang sama, Dekan Fakultas Manajemen Pemerintahan IPDN, Khalilul Hairi menyampaikan masukan terkait pengangkatan Penjabat Kepala Daerah yakni melalui wakil rakyat daerah (DPRD) yang mengusulkan 3 atau 5 nama pejabat JPT (sesuai dengan kewenangan pengangkatan yang diatur dalam Pasal 201 UU No 10 Tahun 2016), untuk selanjutnya pemerintah pusat memilih salah satu dari yang diusulkan tersebut.
Hal ini sesuai dengan Pasal 201 ayat (9) sampai ayat (12) yang menyatakan meskipun memberikan kewenangan pemerintah pusat untuk mengangkat penjabat Kepala Daerah dari JPT Madya dan JPT Pratama, namun pemerintah pusat mempunyai ruang untuk mengatur proses pengangkatannya yang demokratis.
Perlu diketahui, berdasarkan hasil pemeriksaan, Ombudsman RI menemukan tiga praktik maladministrasi dalam proses pengangkatan Penjabat Kepala Daerah. Pertama, Mendagri terbukti melakukan maladministrasi berupa penundaan berlarut dalam memberikan tanggapan atas permohonan informasi dan keberatan Pelapor perihal pengangkatan Penjabat Kepala Daerah.
Kedua, Mendagri terbukti melakukan maladministrasi berupa penyimpangan prosedur dalam pengangkatan Penjabat Kepala Daerah.
Ketiga, Mendagri terbukti melakukan meladministrasi berupa pengabaian kewajiban hukum atas Putusan Mahkamah Konstitusi.
Selanjutnya ada tiga tindakan korektif yang telah disampaikan kepada Mendagri. Di antaranya pertama, menindaklanjuti surat pengaduan dan substansi keberatan dari pihak Pelapor.
Kedua, meninjau kembali pengangkatan Penjabat Kepala Daerah dari unsur prajurit TNI aktif. Ketiga, menyiapkan naskah usulan pembentukan Peraturan Pemerintah terkait proses pengangkatan, lingkup kewenangan, evaluasi kinerja hingga pemberhentian Penjabat Kepala Daerah.