Tantangan Masa Depan
Penggunaan TIK memang telah menjadi tren untuk mengembangkan demokrasi di ruang-ruang siber sekaligus mendorong peningkatan, efektivitas dan efisiensi layanan lembaga negara, termasuk parlemen.
Karena itu, sebagaimana dikatakan Fadli Zon dan Indra Iskandar, TIK lantas menjadi hal yang esensial dalam mendukung kerja-kerja lembaga legislasi.
Hanya saja, parlemen sebagai lembaga demokrasi idealnya harus dapat memanfaatkan semaksimal mungkin potensi TIK agar dapat menjadi lembaga yang lebih representatif, transparan, akuntabel, dan dapat diakses oleh siapa saja dan kapan saja.
Artinya, penggunaan TIK dalam konteks interaksi publik-parlemen, baik anggota parlemen maupun staf dan sistem pendukung, harus dipahami untuk tujuan yang lebih luas, yakni memberdayakan parlemen sekaligus mendorong menciptakan masyarakat yang lebih melek informasi, sadar akan hak-haknya dan kritis terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.
Seiring hal itu, ada beberapa masalah yang dihadapi parlemen di era digital, di antaranya bagaimana merawat eksistensi parlemen dengan kemampuan sumber daya yang mumpuni.
Teknologi digital memang telah memberikan otoritas nyaris tanpa batas bagi publik untuk menyuarakan aspirasinya baik siang maupun malam. Karena itu, mau tidak mau, suka tidak suka, parlemen harus bersaing dengan teknologi digital di tengah kian kuatnya peran netizen.
Penulis tidak ingin menyebut akan ada semacam “Dewan Perwakilan Netizen” dengan segala plus minusnya, meski hal itu bisa saja muncul dalam bentuk yang berbeda. Belum lagi fenomena hilangnya batas antara personal dan institusi karena seorang anggota DPR, misalnya, sulit dibedakan ketika dia berbicara secara pribadi atau atas nama institusi.
Hal ini bisa terjadi akibat saking mudahnya para politisi mengeluarkan pernyataa tanpa batas, ruang, dan waktu melalui cuitan atau rekaman video yang bisa dikutip para awak media.
Tantangan lainnya adalah bagaimana parlemen harus berpacu dengan teknologi kekinian sehingga tidak gagap digital. Artinya, DPR tidak boleh ketinggalan dalam memamfaatkan teknologi untuk mempecepat pengelolaan aspirasi publik yang telah terlebih dahulu mengalami internalisasi di kalangan netizen.
Aplikasi “DPR Now” perlu terus dikembangkan dengan berbagai instrumen yang lebih dekat ke publik. Aplikasi itu harus dikemas menarik agar kelompok milenial tertarik berpartisipasi. Apalagi masa depan parlemen di era digital akan lebih kompleks, sehingga kepekaan memiliki frekuensi dan keberpihakan dengan konstituen menjadi hal sangat esensial.
Boleh dikatakan parlemen kini banyak kompetitornya. Tidak sedikit lembaga formal dan nonformal di masyarakat menjalankan fungsi kontrol serupa dengan parlemen. Mungkin pembedanya, mereka tidak punya legalitas formal sesuai konstistusi, namun bisa unggul dari sisi kemasan, substansi dan inovasi.