Bisnis.com, JAKARTA -- Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian melantik Mayjen TNI Purn Achmad Marzuki sebagai penjabat (pj) gubernur Aceh pada Rabu (6/7/2022). Dia mengisi jabatan yang ditinggalkan gubernur Aceh sebelumnya, Nova Iriansyah.
Tito Karnavian datang langsung ke Gedung DPR Aceh (DPRA) untuk melantik Achmad. Menurutnya, sesuai dengan UU No. 10/2016, presiden menunjuk pj gubernur untuk masa waktu satu tahun.
Achmad dipilih berdasarkan masukan dari sejumlah pihak, termasuk DPR Aceh hingga kementerian lembaga terkait. Selanjutnya, profil Achmad diserahkan kepada presiden, yang kemudian disidang tim penilai akhir.
Meski begitu, sejumlah organisasi sipil menilai pemilihan Achmad Marzuki bermasalah. Achmad merupakan purnawirawan TNI. Pelantikan Achmad dikritik banyak pihak lantaran sejarah panjang konflik antara militer dan sipil di Bumi Serambi Mekah tersebut.
Melupakan Aspek Historis
Koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari KontraS, KontraS Aceh, LBH Banda Aceh, Katahati Institute, Perludem, dan ICW mempertanyakan pengangkatan Achmad Marzuuki sebagai pj gubernur Aceh.
Koalisi heran kenapa DPRA dan Kemendagri memilih seorang dengan latar belakang militer. Menurut mereka, DPRA dan Kemendagri seakan lupa sejarah panjang kekerasan TNI di Aceh.
Baca Juga
“Hal Ini tentunya melukai hati masyarakat Aceh,” tulis rilis koalisi tersebut, Selasa (5/7/2022).
Terlebih lagi, pada Juni lalu Tito Karnavian menyatakan tak akan menunjuk pj. kepala daerah dari kalangan TNI-Polri aktif.
Saat dikonfirmasi, Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Kemendagri Benny Irwan mengatakan bahwa Achmad Marzuki memilih pensiun dini dari TNI setelah diusulkan jadi pj. gubernur Aceh oleh DPRA. Tercatat sejak 1 Juni 2022, Achmad pensiun dari TNI. Lalu pada 4 Juli 2022, dia menjabat sebagai aparatur sipil negara (ASN).
“Saat ini beliau sudah purnawirawan dan beralih status sebagai ASN di Kemendagri sebagai Staf Ahli Mendagri Bidang Hukum dan Kesatuan Bangsa, yang merupakan jabatan pimpinan tinggi madya,” jelas Benny kepada Bisnis, Jumat (8/7/2022).
Walau Achmad sudah pensiun dari TNI, Direktur Imparsial Gufron Mabruri tetap mencurigai proses pengangkatannya yang begitu cepat. Setelah Achmad pensiun, tiga hari kemudian dia jadi ASN. Lalu, dua hari setelah langsung diangkat jadi Pj. Gubernur Aceh.
Imparsial khawatir, jika dibiarkan pola seperti itu akan berulang. Anggota TNI/Polri akan pensiun dini dan tak lama setelahnya diangkat jadi Pj. kepala daerah.
“Mengingat masih banyak posisi kepala daerah yang akan kosong sampe tahun depan,” ujar Gufron kepada Bisnis, Jumat (8/7/2022).
Dari data Kemendagri, setidaknya ada 271 kepala daerah yang habis masa jabatannya sebelum Pilkada 2024. Artinya, Kemendagri akan buka lowongan untuk 271 Pj. kepala daerah.
Hilangnya Demokrasi
Imparsial juga menyoroti tata cara pemilihan Achmad Marzuki. Menurutnya, tak ada keterlibatan publik dalam pelantikan Achmad. Ujug-ujug, purnawirawan TNI tersebut sudah dilantik.
“Jadi [pelantikan pj. kepala daerah] bukan ranahnya pemerintah aja, karena ini terkait urusan publik,” jelas Gufron.
Hal senada disampaikan koalisi masyarakat sipil. Menurut mereka, penunjukan langsung pj. gubernur Aceh melanggar hak asasi manusia karena tidak dilakukan secara transparan dan akuntabel. Padahal, harus ada forum terbuka yang dapat diakses oleh publik, agar masyarakat Aceh dapat terlibat dalam proses pemilihan pj. gubernur mereka.
Mereka mencatat, beberapa kali Kemendagri telah melantik pj. gubernur tanpa ada partisipasi publik, antara lain: Al Muktabar sebagai pj. gubernur Banten, Ridwan Djamaluddin sebagai pj. gubernur Kepulauan Bangka Belitung, Akmal Malik sebagai pj. gubernur Sulawesi Barat, Hamka Hendra Noer sebagai pj. gubernur Gorontalo, dan Komisaris Jenderal (Purn) Paulus Waterpauw sebagai pj. gubernur Papua Barat. Selain itu, Kemendagri juga pernah melantik seorang perwira tinggi TNI aktif, Brigjen Andi Chandra As’Aduddin menjadi pj. bupati Seram Bagian Barat.
“Kami melihat bahwa Kemendagri masih melakukan tindakan tidak patuh administratif dalam hal penunjukan penjabat kepala daerah,” jelas mereka.
Perlunya Aturan Turunan
Agar pengangkatan Pj. kepala daerah lebih demokratif, Gufron menekankan pentingnya aturan turunan tentang tata cara pelaksanaan penunjukan pj. kepala daerah. Misalnya, pemerintah buat tata aturan pelaksana penunjukan yang diamanatkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Dalam aturan tersebut, nama calon yang diajukan sebagai pj. kepala daerah harus dibuka ke publik. Sehingga masyarakat bisa melihat profil dan rekam jejak calon pemimpinnya. Setelah itu, masyarakat dapat memberi masukan ke Kemendagri.
Dengan begitu, menururt Gufron, proses pemilihan pj. kepala daerah akan lebih transparan, akuntabel, dan masyarakat bisa ikut terlibat. Dia mengingatkan, bahwa keterlibatan publik sangat penting untuk melakukan kontrol, pengawasan, dan masukan.
“Selama ini kan publik tahunya nama udah ditunjuk oleh pemerintah. Makanya tidak heran jika muncul reaksi dan bahkan ada penolakan terhadap nama yang ditunjuk,” tutupnya.