Bisnis.com, JAKARTA — Guru Besar Hukum Internasional UI Hikmahanto Juwana menilai pesan damai yang disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat mengunjungi Ukraina dan Rusia pekan lalu sudah tepat.
Menurutnya, Presiden Jokowi ingin menyampaikan kepada Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky dan Presiden Rusia Vladimir Putin tentang dampak buruk yang diterima negara-negara berkembang akibat perang. Hikmanto mengatakan pesan Jokowi tak punya kepentingan khusus, bukan seperti Amerika Serikat (AS) dan sekutunya.
“Bapak Presiden [Jokowi] esensinya ingin menyampaikan, terlepas dari alasan dari pihak-pihak yang terlibat dalam perang termasuk AS dan sekutunya, bahwa perang akan membawa penderitaan pada rakyat banyak di negara berkembang dan karenanya perang harus dihentikan,” ujarnya lewat rilis ke Bisnis, Senin (4/7/2022).
Sejak perang, jelas Hikmahanto, rantai pasokan untuk gandum dan pupuk dunia jadi kacau. Jokowi ingin agar ekspor gandum dan pupuk dari kedua negara yang sedang berperang dapat masuk kembali ke pasar bebas dunia.
Untuk diketahui, menurut data The Observatory of Economic Complexity (OEC), pada 2020 Rusia dan Ukraina jadi dua dari lima negara pengekspor gandum terbanyak di dunia. Sedangkan untuk pupuk, Rusia menepati peringkat pertama sebagai negara pengekspor terbesar di dunia.
Tak hanya kepada Zelensky dan Putin, pesan yang sama juga disampaikan kepada pemimpin-pemimpin negara G7. Seperti diketahui, negara G7 ramai-ramai memberi sanksi ekspor kepada Rusia.
Baca Juga
Pernyataan senada dilantarkan Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komarudin. Menurutnya mediasi yang dilakukan Jokowi sudah bagus mengingat masyarakat Indonesia dan Eropa sudah merasakan dampak perang, seperti kenaikan harga bahan pokok dan energi.
Meski begitu, dia mengingatkan niat baik pemerintah akan jadi bumerang jika terjadi keberpihakan dan miskomunikasi saat mediasi. Dia mencontohkan kasus yang sekarang sedang diributkan, terkait Ukraina yang membantah menitipkan pesan tertulis kepada Jokowi untuk Presiden Putin.
“Ini tentu harus diantisipasi dari pihak pemerintah sendiri, agar komunikasi dan diplomasi yang dibangun berlandasan pada keterbukaan,” jelasnya kepada Bisnis, Senin (4/7/2022).