Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Senjata Energi Dilema dalam Perang Rusia Vs Ukraina

Berpakaian seperti gangster tahun 1930-an dengan setelan gelap dilengkapi topi fedora, sosok Putin tampil dengan judul “Jangan Main-main dengan Rusia” di majalah terkemuka itu.
Bendera negara Rusia berkibar di atas pabrik diesel di Ladang Minyak Yarakta, milik Perusahaan Minyak Irkutsk (INK), di Wilayah Irkutsk, Rusia 10 Maret 2019./Antara-Reuters
Bendera negara Rusia berkibar di atas pabrik diesel di Ladang Minyak Yarakta, milik Perusahaan Minyak Irkutsk (INK), di Wilayah Irkutsk, Rusia 10 Maret 2019./Antara-Reuters

Bisnis.com, JAKARTA - Pada Desember 2006, majalah The Economist menerbitkan gambar sampul Presiden Rusia Vladimir Putin.

Berpakaian seperti gangster tahun 1930-an dengan setelan gelap dilengkapi topi fedora, sosok Putin tampil dengan judul “Jangan Main-main dengan Rusia” di majalah terkemuka itu.

Putin juga terlihat memegang alat pengisi bensin dan mencengkeramnya seperti senapan mesin.

Banyak kalangan yang menafsirkan target Putin tidak lain adalah Eropa, yang sangat bergantung pada Rusia untuk minyak dan gas alam. Pada subjudul berita itu tertulis: "Penyalahgunaan kekuatan energi Rusia bisa berdampak buruk bagi warganya, lingkungan, dan dunia."

Hari ini pernyataan itu agaknya masih relevan dalam konteks invasi negara itu ke Ukraina yang telah memicu perubahan pasokan energi global. Apalagi, baru-baru ini Putin menghentikan pengiriman gas alam Rusia ke Polandia dan Bulgaria sebagai senjata untuk menekan kedua negara itu.

Maklum, gas adalah komoditas berharga yang sangat penting untuk industri, pembangkit listrik, dan fasilitas pemanas, terutama di Eropa bagian utara.

Di kawasan itu musim dingin bisa berlangsung keras dan panjang. Hal inilah yang menjelaskan mengapa negara-negara Eropa mengimpor gas dari banyak sumber, tetapi kemudian bergantung pada pasokan Rusia untuk menjaga rumah mereka tetap hangat dan perekonomian mereka berjalan lancar.

Senjata energi memang dapat mengambil banyak bentuk. Pada tahun 1967 hingga 1973, negara-negara Arab menghentikan ekspor minyak ke Amerika Serikat (AS) dan negara-negara Barat lainnya. Alasannya semua negara itu mendukung Israel dalam konflik melawan tetangganya di Timur Tengah.

“Menahan pasokan adalah cara untuk menimbulkan kerugian ekonomi pada lawan dan memenangkan konsesi kebijakan,” ujar Michael E Webber, seorang  profesor Sumber Daya Energi Dasar Laut dari Universitas Texas, AS seperti dikutip ChannelNewsAsia.com, Selasa (3/5/2022).

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Nancy Junita
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper