Bisnis.com, JAKARTA – Bupati Bogor Ade Yasin mengaku tidak tahu peristiwa suap opini wajar tanpa pengecualian (WTP) kepada pegawai BPK. Dia menyebut bahwa suap itu terjadi atas inisiatif anak buahnya.
“Ya saya dipaksa untuk bertanggung jawab terhadap perbuatan anak buah saya. Tapi sebagai pemimpin saya harus siap bertanggung jawab,” katanya di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (28/4/2022).
Ade menjelaskan bahwa tidak mengetahui, bahkan pernah memerintah agar menyuap demi mendapatkan opini WTP.
“Itu ada inisiatif dari mereka. Jadi ini namanya IMB, inisiatif membawa bencana,” jelasnya.
Sebelumnya, KPK menciduk 12 orang dengan menetapkan 8 orang tersangka terkait suap pengurusan laporan keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor Tahun Anggaran 2021.
Mereka yang kena operasi tangkap tangan (OTT) itu adalah Bupati Bogor periode 2018-2023 Ade Yasin (AY), Kasubid Kas Daerah BPKAD Bogor Ihsan Ayatullah (IA), Sekdis Dinas PUPR Bogor Maulana Adam (MA), PPK pada Dinas PUPR Kab. Bogor Rizki Taufik (RT), dan Kasubag Keuangan Setda Bogor Ruli Fathurrahman (RF).
Baca Juga
Lalu, Kepala BPKAD Bogor Teuku Mulya (TM), Sekretaris BPKAD Bogor Andri (AR), Staf BPKAD Bogor Hani (HN), Pegawai BPK Perwakilan Jawa Barat/Kasub Auditorat Jabar III Anthon Merdiansyah (AM), pegawai BPK Perwakilan Jawa Barat/Ketua Tim Audit Interim Bogor Arko Mulawan (AM), pegawai BPK Perwakilan Jawa Barat/pemeriksa Gerri Ginajar Trie Rahmatullah (GGTR), dan pegawai BPK Perwakilan Jawa Barat/pemeriksa Hendra Nur Rahmatullah Karwita (HNRK).
“Konstruksi perkara diduga telah terjadi AY selaku Bupati Kabupaten Bogor periode 2018-2023 berkeinginan agar Pemerintah Kabupaten Bogor kembali mendapatkan predikat WTP untuk Tahun Anggaran 2021 dari BPK Perwakilan Jawa Barat,” kata Ketua KPK Firli Bahuri, Kamis (28/4/2022).
Lalu, Firli menjelaskan bahwa BPK Perwakilan Jawa Barat menugaskan tim pemeriksa untuk melakukan audit pemeriksaan interim (pendahuluan) atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Tahun Anggaran 2021 Bogor.
Tim Pemeriksa yang terdiri atas ATM, AM, HNRK, GGTR dan Winda Rizmayani ditugaskan sepenuhnya mengaudit berbagai pelaksanaan proyek, di antaranya pada Dinas PUPR Bogor.
Pada Januari 2022, tambah Firli, diduga ada kesepakatan pemberian sejumlah uang antara HNRK dengan IA dan MA. Tujuannya mengondisikan susunan tim audit interim.
“AY menerima laporan dari IA bahwa laporan keuangan Pemkab Bogor jelek dan jika diaudit BPK Perwakilan Jawa Barat akan berakibat opini disclaimer. Selanjutnya AY merespon dengan mengatakan, ‘diusahakan agar WTP’,” jelasnya.
Sebagai realisasi kesepakatan, IA dan MA diduga memberikan uang sekitar Rp100 juta dalam bentuk tunai kepada ATM di salah satu tempat di Bandung.
ATM kemudian mengondisikan susunan Tim sesuai dengan permintaan IA yang nantinya obyek audit hanya untuk SKPD tertentu.
Proses audit dilaksanakan mulai bulan Februari 2022 sampai April 2022. Hasil rekomendasinya adalah tindak lanjut rekomendasi tahun 2020 sudah dilaksanakan dan program audit laporan keuangan tidak menyentuh area yang mempengaruhi opini.
“Adapun temuan fakta tim audit ada di Dinas PUPR, salah satunya pekerjaan proyek peningkatan jalan Kandang Roda-Pakan Sari dengan nilai proyek Rp94,6 miliar yang pelaksanaannya diduga tidak sesuai dengan kontrak,” terang Firli.
Selama proses audit, diduga ada beberapa kali pemberian uang kembali oleh AY melalui IA dan MA pada tim pemeriksa, yakni dalam bentuk uang mingguan. Besaran minimalnya Rp10 juta hingga total selama pemeriksaan telah diberikan sekitar Rp1,9 miliar.
Atas kasus tersebut, tersangka sebagai pemberi adalah Ade Yasin, Maulana Adam, Ihsan Ayatullah, dan Rizki Taufik.
Sedangkan penerima adalah Anthon Merdiansyah, Arko Mulawan, Hendra Nur Rahmatullah Karwita, dan Gerri Ginajar Trie Rahmatullah.
Sebagai pemberi, para tersangka disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Sedangkan para penerima disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.