Bisnis.com, JAKARTA – Ketua Bidang Departemen Ekonomi dan Pembangunan PKS Farouk Abdullah Alwyni mengatakan bahwa tantangan Indonesia keluar dari krisis ekonomi semakin berat.
Hal ini disebabkan oleh pratik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di sekitar kekuasaan semakin vulgar.
“Terutama dalam 5 tahun terakhir, semua indikator memperlihatkan betapa KKN makin meruak. Tingkat korupsi memburuk, keadilan sosial terusik, penegakkan hukum melemah, dan pemerintah seperti jalan di tempat,” katanya kepada wartawan, Selasa (1/2/2022).
Farouk menjelaskan bahwa penting untuk menyadari bahwa KKN merupakan salah satu faktor nonekonomi yang berdampak besar terhadap ekonomi (non-economic factors affecting economy).
Menurut World Justice Report, kata Farouk, Indonesia berada di peringkat 68 dari 139 negara dalam hal penegakkan hukum dengan skor total 0,52 poin. Skor ini nyaris tidak berubah sejak tahun 2015.
Di saat yang sama, hukum di Indonesia masih bermasalah dari aspek kesetaraan. Belum semua orang Indonesia sama di hadapan hukum.
Sebagian kecil, tambah Farouk, menikmati privilese. Sebagian besar mendapat diskriminasi. Hukum cenderung lembut kepada mereka yang dekat kekuasaan dan keras kepada yang berseberangan.
“Selain penegakan hukum, secara lebih rinci dokumen ini juga memperlihatkan kita bermasalah dengan isu-isu abuse of power, korupsi, transparansi, kebebasan sipil, kriminalitas, keamanan, serta hak-hak fundamental warga negara. Di hampir semua isu tersebut, Indonesia punya skor di bawah rata-rata global,” jelasnya.
Farouk menambahkan, korupsi menjadi isu yang paling mencoreng nama Indonesia di mata dunia. Indonesia hanya mencatatkan skor 0,40 poin. Padahal, rata-rata global berada di angka 0,52 poin.
“Kenapa soal korupsi skor Indonesia jeblok? Salah satu penyebabnya adalah masih maraknya ranting eksekutif yang memanfaatkan fasilitas negara guna memenuhi kepentingan pribadi,” terangnya.
Hal itu diperparah praktik penegakkan hukum yang tebang pilih. Praktis, ketika lingkaran penguasa menyalahgunakan wewenangnya, nyaris tidak ada hukum yang mampu menyentuh mereka.
Ini terbukti dari laporan masyarakat tentang dua anak presiden yang diduga terlibat tindak pidana korupsi dan atau pencucian uang. Lalu juga ada dugaan abuse of power keterlibatan menteri dalam bisnis PCR, maupun orang-orang lain yang berada di lingkaran kekuasaan.
Saat ini, Farouk mencatat Belum ada perkembangan signifikan dari laporan-laporan tersebut. Padahal sudah ada bukti permulaan yang bisa ditelusuri.
“Benarkah orang-orang yang dilaporkan ini melakukan rent seeking economy guna memenuhi kepentingan pribadi. Di sinilah KPK dan Kepolisian perlu mendudukkan mereka atas nama hukum. Mereka harus diperiksa. Hanya dengan cara inilah semua pertanyaan kita bisa mendapat titik terang,” imbuhnya.
Farouk menambahkan, pelaporan para petinggi dan orang dekat Presiden yang dilakukan oleh masyarakat sipil ini harusnya jadi momentum untuk menyadarkan kembali kepada cita-cita reformasi yang bersih dari KKN.
Laporan itu sekaligus juga perlu disikapi sebagai cara untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia punya keinginan untuk menjadi negara yang bersih, minim korupsi, dan punya aturan hukum yang tidak tebang pilih.
Untuk itulah, menurut Farouk, kepolisian dan KPK perlu bekerja profesional. Mereka perlu membuktikan marwahnya sebagai lembaga negara yang memberi justice for all.
“Jika justice for all bisa tercapai, akan lebih mudah memikirkan bagaimana membangun sistem ekonomi yang bisa memberikan kesempatan untuk semua, opportunity for all,” kata Farouk.