Bisnis.com, JAKARTA — Ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) seharusnya dihapuskan karena akan semakin menggerus kehidupan demokrasi di Indonesia. Namun, ambang batas parlemen perlu dipertahankan tanpa harus dinaikan lebih tinggi lagi untuk menjaga pluralitas politik.
Demikian disimpulkan dalam acara disksui Gelora Talk dengan tema “Menakar Reformasi Sistem Politik Indonesia, Apakah Mungkin Jadi Gelombang?” dengan menghadirkan narasumber Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi, pakar Hukum Tata Negara Refly Harun, politisi Fahri Hamzah serta Pendakwah Nasional Haikal Hassan Baras dengan keynote speech Ketua Umum DPN Partai Gelora Indonesia, Anis Matta, Rabu (5/1).
Menurut Burhanuddin Muhtadi, penerapan presidential threshold (PT) tidak lazim digunakan di negara yang menganut sistem presidensial. Apalagi dengan syarat calon presiden harus memenuhi 20 persen kursi di parlemen atau 25 persen suara sah secara nasional bagi partai maupun gabungan partai pengusungnya.
Persyaratan itu, ujar Burhanuddin, dinilai aneh karena bersifat pembatasan orang untuk maju sebagai calon presiden. Padahal, konstitusi tidak membatasinya.
Sedangkan di negara lain PT betujuan sebagai syarat untuk menang setelah pemilihan presiden berlangsung. Di Brasil dan Ekuador, misalnya, ada syarat mengantongi suara 50 peren plus satu suara sebagai syarat memenangkan pemilihan presiden, bukan sebagai syarat untuk maju. Selain itu jarak raihan suara juga harus minimal 10 persen dari pesaing terdekatnya.
“Presidential threshold itu aneh dan tidak lazim di negara lain. Tidak ada pembatasan yang ketat seperti di Indonesia untuk maju sebagai calon presiden. Bahkan di Amerika Serikat calon independent pun bisa maju sebagai calon presiden,” ujar Burhanuddin, Rabu (5/1/2022).
Namun, dia setuju dengan adanya ambang batas partai politik untuk masuk ke parlemen (parliamentary threshold), misalnya partai yang meraih suara minimal empat persen. Hanya saja, dia berpendapat batasan itu tidak perlu lagi dinaikan karena kalau ambang batas terlalu tinggi seperti di Turki sebesar 10 persen, justru keterwakilan masyarakat menjadi lemah.
Dia khawatir kalau ambang batas itu dinaikan lagi maka partai berbasis agama akan hilang sehingga berpotensi menimbulkan kerawanan politik.
“Jadi presidential threshold perlu dihapus. Parliamentary threshold diperlukan, tapi jangan terlalu tinggi karena bisa mengurangi plurasime politik,” ujar Burhanuddin.
Sementara itu, Ketua Umum Partai Gelora Anis Matta mengatakan bahwa selama hampir 25 tahun, Indonesia sistem politik Indonesia belum menemukan bentuknya termasuk seringnya perubahan soal ambang batas calon presiden dan penyederhanaan partai politik. Artinya, Indonesia masih melakukan eksperimen politik.
Padahal, esensi demokrasi adalah tingkat kebebasan dan partisipasi berupa representasi atau keterwakilan rakyat, katanya. Karena itu, di sependapat dengan Burhanuddin dan turut meminta agar amabang batas calon presiden dihapuskan karena bersifat membatasi partisipasi rakyat.
Wakil Ketua DPR periode 2014-2019 Fahri Hamzah mengatakan bahwa aturan pemilu di Indonesia hanya mempersempit peluang munculnya calon presiden alternatif dari yang suduah dikenal selama ini.
"Dalam konteks itu, saya melihat sistem pemilu saat ini lebih memperkuat peran oligarki politik sekelompikk elite. Namun, mengabaikan keterwakilan rakyat Indonesi dari berbagai daerah," ujarnya.