Bisnis.com, JAKARTA - Kekerasan seksual menjadi masalah di dunia pendidikan yang perlu mendapat perhatian serius. Bukan main-main. Berdasarkan catatan Komnas Perempuan, dalam 5 tahun terakhir terdapat 51 kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan pendidikan.
Dua puluh tujuh persen di antaranya terjadi di dalam kampus atau perguruan tinggi. Angka tersebut dipercaya bukan angka sebenarnya, karena banyak korban atau saksi yang enggan melaporkan kejadian kekerasan seksual tersebut. Hal itu menunjukkan bahwa lingkungan pendidikan bukanlah ruang yang aman dari kekerasan seksual.
Alhasil, Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi menjadi oase di tengah kondisi dunia kampus yang sudah darurat kekerasan seksual tersebut.
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Nizam menuturkan beleid yang terbit pada 31 Agustus 2021 itu adalah respons atas keresahan mahasiswa, dosen, pimpinan perguruan tinggi, dan masyarakat tentang meningkatnya kasus kekerasan seksual di kampus.
“Ini merupakan upaya pemerintah untuk memastikan terjaganya hak warga negara atas pendidikan, melalui pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan tinggi,” kata Nizam saat dihubungi Bisnis pada Kamis (11/11/2021).
Permendikbudristek 30 /2021, kata Nizam, mengatur secara rinci langkah-langkah yang penting di perguruan tinggi untuk mencegah dan menangani kekerasan seksual.
Di samping itu juga membantu pimpinan perguruan tinggi dalam mengambil tindakan lebih lanjut untuk mencegah berulangnya kembali kekerasan seksual yang menimpa sivitas akademika.
Kalangan perguruan tinggi pun menyambut positif langkah Mendikbud Nadiem Makarim tersebut. Lebih dari 45 akademikus yang berasal dari berbagai kampus menyatakan dukungan terhadap Permendikbudristek PPKS.
"Terbitnya Permendikbudristek 30 merupakan momentum yang penting untuk menyediakan pedoman hukum untuk mengatasi kekerasan seksual, bersama-sama dengan norma-norma lain yang sudah tumbuh di universitas," ujar Koordinator Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Dhia Al Uyun mewakili para akademisi tersebut dalam keterangannya, Rabu (11/11/2021).
Dhia menyebut, kekerasan seksual adalah implikasi logis dari relasi kuasa yang timpang termasuk dalam relasi gender di perguruan tinggi. Mereka yang ada pada posisi dominan dalam relasi kuasa dinilai memiliki privilege untuk memanipulasi, menakut-nakuti dan akhirnya menaklukkan korban.
Kekerasan seksual merusak martabat korban dan merontokkan fungsi universitas sebagai tempat pencarian kebenaran.
"Aturan dan kode etik mengenai pencegahan dan penanganan kekerasan seksual selain penting untuk melindungi korban, juga penting untuk membangun kultur akademik yang sehat, berperadaban, setara, dan adil," Dhia.