Bisnis.com, JAKARTA - Ketua Umum Partai Ummat Ridho Rahmadi menilai, Presiden Joko Widodo atau Jokowi gagal mengelola konflik agraria yang terjadi selama lima tahun terakhir dan menyebabkan meluasnya ketimpangan dan ketidakadilan di seluruh Indonesia.
Ridho menyebut, berdasarkan data yang dihimpun pihaknya menunjukkan dalam lima tahun terakhir telah terjadi 2.288 konflik agraria yang mengakibatkan 1.437 orang mengalami kriminalisasi, 776 orang mengalami penganiayaan, 75 orang tertembak, dan 66 orang tewas.
"Mereka adalah korban ketidakadilan struktural, tetapi pemerintah masih berkilah dan memberikan kesan seolah-olah mereka korban konflik horizontal," katanya dikutip melalui akun amienraisofficial, Jumat (8/10/2021).
Tidak hanya itu, Ridho melanjutkan, penguasaan tanah oleh segelintir elite oligarki semakin menunjukkan ketimpangan yang memperdalam jurang kaya-miskin yang ujung-ujungnya rakyat banyaklah yang menjadi korban dan mengalami ketidakdilan struktural.
“Sebanyak 68 persen tanah yang ada di seluruh Indonesia saat ini dikuasai oleh satu persen kelompok pengusaha dan badan korporasi skala besar. Sementara itu, di sisi lain, lebih dari 16 juta rumah tangga petani yang menggantungkan hidupnya dari bertani, masing-masing hanya menguasai lahan di bawah setengah hektar,“ tuturnya.
Berdasarkan data di atas, Partai Ummat menyimpulkan bahwa ketimpangan dan ketidakadilan penguasaan tanah di Indonesia sudah sangat parah. Konflik yang berakar pada perampasan tanah yang hampir merata terjadi di seluruh Indonesia sering tidak ada sangkut pautnya dengan kepentingan rakyat.
Baca Juga
Namun ironisnya, Partai Ummat menyesalkan, meskipun konflik agraria ini sudah sampai pada tahap yang sangat mengkhawatirkan di mana keutuhan bangsa jadi taruhannya, tapi belum ada tanda-tanda upaya penyelesaian yang komprehensif dan menyentuh akar masalah.
“Pemerintah masih bermain-main dengan cara penyelesaian yang parsial, kagetan, bahkan tak jarang melibatkan aparat keamanan yang haram hukumnya dalam negara demokrasi,“ kata Ridho.
Ridho Rahmadi mengibaratkan cara pemerintah menyelesaikan konflik agraria selama ini tak ubahnya seperti mengobati kanker stadium lanjut dengan menempelkan koyo pada bagian tubuh yang sakit.
"Untuk menutupi wajah konflik agraria yang sudah pucat pasi digerogoti kanker ganas, mereka memoleskan lipstik di bibir supaya kelihatan tidak menakutkan," katanya.
Konflik Agraria
Dia mengatakan, yang lebih ironis lagi pada masa pandemi ini justru konflik agraria tetap terjadi. Ini karena perusahaan besar memanfaatkan pandemi untuk melakukan ekspansi bisnis di wilayah pedesaan yang kondisinya tidak separah perkotaan.
Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menunjukkan bahwa khusus di masa pandemi ini (2020) terjadi peningkatan konflik agraria masing-masing 28 persen di sektor perkebunan dan 100 persen di sektor kehutanan dibandingkan tahun sebelumnya (2019).
Ridho menegaskan, sebagai kekuatan politik bangsa, Partai Ummat merasa berkewajiban untuk memberi peringatan kepada pemerintah supaya jangan lagi bermain-main atau menganggap sepele konflik agraria yang sangat potensial menyulut kerusuhan sosial.
“Soal ketidakadilan ini adalah soal distribusi lahan, bukan soal sertifikasi lahan. Dengan segala hormat, jangan lagi anggap bagi-bagi sertifikat sebagai solusi," lanjut Ridho.
Partai Ummat bersama komponen bangsa lainnya mendesak pemerintah agar segera mempunyai peta jalan penyelesaian konflik agraria dengan data yang valid dan terintegrasi, serta secepatnya mewujudkan BORA (Badan Otorita Reforma Agraria) yang merupakan perintah dari Tap MPR Nomor IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (PA dan PSDA).
Ridho mengatakan tanpa data penguasaan lahan yang valid dan terintegrasi, ketidakadilan penguasaan lahan dan kekacauan yang diakibatkan olehnya akan terus berlarut-larut.
Partai Ummat mencatat bahwa data penguasaan lahan itu sampai sekarang masih tersebar di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Bakosurtanal, dan lain-lainnya.