Bisnis.com, JAKARTA – Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menilai pembatalan pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) pada jasa pendidikan perlu diapresiasi sebagai langkah yang produktif dalam memulihkan dampak pandemi Covid-19 pada sektor ini.
Peneliti CIPS Nadia Fairuza mengatakan, dunia pendidikan dapat kembali bersemangat setelah adanya pemberlakuan pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas di wilayah-wilayah yang tergolong aman dan pelaksanaannya harus terus didukung oleh kebijakan yang responsif terhadap keadaan.
“Di tengah-tengah persoalan akses maupun mutu pendidikan yang tidak merata, peningkatan dropout dan penurunan kemampuan belajar, pengenaan PPN ini akan semakin mempersempit akses kepada pendidikan, terutama bagi masyarakat miskin,” katanya, Rabu (6/10/2021).
Dia menambahkan, dampak pandemi Covid-19 pada sektor pendidikan seharusnya bisa menjadi pertimbangan sebelum pengenaan PPN ini benar-benar diberlakukan.
Penyebabnya, banyak sekolah-sekolah, terutama sekolah swasta berbiaya rendah, sudah sulit untuk bertahan di tengah pandemi yang berkepanjangan karena sekolah maupun gurunya sangat tergantung kepada pendapatan orangtua peserta didik yang kini banyak terganggu dalam kondisi sulit seperti sekarang ini.
Pengenaan PPN, lanjutnya, akan sangat berdampak kepada sekolah-sekolah.
Baca Juga
Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2021 memperlihatkan ada 19,10 juta penduduk usia kerja yang terdampak pandemi Covid-19. Sebanyak 1,62 juta penduduk diantaranya menganggur akibat Covid-19 dan sebanyak 1,11 juta orang tidak bekerja karena pandemi.
“Belum lagi mempertimbangkan dampak dari learning loss akibat pandemi pada peserta didik,” imbuh Nadia.
Sekadar informasi, Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang Nomor 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) yang tengah dipersiapkan DPR RI dan Pemerintah, salah satu poinnya adalah pengenaan PPN pada instansi pendidikan sebesar 12 persen.