Bisnis.com, JAKARTA - Ketua Fraksi PKS di DPR Jazuli Juwaini mengatakan bahwa dukungan Presiden Jokowi melalui satu peraturan atas praktik rangkap jabatan rektor Universitas Indonesia (UI) yang dinilai melanggar Statuta UI seperti menantang publik yang mengkritiknya.
Bahkan menurut Jazuli, langkah presiden menerbitkan PP Statuta UI yang baru tidak saja menantang opini publik, tetapi juga merupakan langkah akal-akalan aturan.
“Ini seperti menantang kritikan publik. Di mana etikanya?," kata Jazuli menanggapi langkah kontroversi presiden yang sebelumnya menyatakan tidak setuju dengan rangkap jabatan agar seorang pejabat lebih fokus pada pekerjaan meraka. Rupanya praktik yang sama juga berlaku di beberapa kampus, tambah Jazuli.
Belum jelas ujung pangkal kritik tersebut, pemerintah justru membuka ruang praktek rangkap jabatan Rektor UI Ari Kuncoro sebagai Wakil Komisaris Utama BRI, kata Jazuli terkait keluarnya PP Statuta UI yang baru berupa PP No. 75/2021.
Regulasi itu mengubah aturan yang sebelumnya bahwa rektor dan pejabat kampus lainnya dilarang merangkap sebagai pejabat pada BUMN/BUMD maupun swasta. Kata "pejabat" diubah menjadi "direksi", sehingga artinya rektor UI bisa menjabat sebagai komisaris.
Jazuli menilai PP Statuta UI yang baru menjadi preseden buruk bagi independensi akademik. Rangkap jabatan rektor dengan jabatan yang tidak ada kaitan dengan dunia akademik, ujarnya, merusak upaya memajukan pendidikan tinggi.
Baca Juga
“Jangankan dari sudut independensi, secara teknis sudah pasti kerja rektor dengan beban tanggung jawab yang sudah berat menjadi tidak fokus, kecuali memang ada motif rente dan politis dibalik rangkap jabatan tersebut,” katanya. Alih-alih mengejar kualitas akademik dan menjadikan kampus UI sebagai universitas kelas dunia atau world class university, rangkap jabatan Rektor justru menjadi sumber masalah dan merusak upaya memajukan kualitas pendidikan, katanya menambahkan.
“Bagaimana kampus-kampus kita bisa maju kalau begini prakteknya?," ungkap Jazuli.
Dia juga menilai jabatan komisaris BUMN di negeri ini identik dengan kepentingan politik sebagai politik balas jasa dan oligarki penguasa. Menjadikan Rektor atau pejabat kampus hanya akan menyeret kampus pada kepentingan politik sempit yang akhirnya bias kepentingan dan sudah pasti mengancam independensi akademik.