Bisnis.com, JAKARTA - Pagi ini, salah satu trah Bung Karno yakni Rachmawati Soekarnoputri meninggal dunia di RSPAD.
Pemilik nama lengkap Diah Pramana Rachmawati Soekarno ini lahir di Jakarta, 27 September 1950. Meski berasal dari trah Bung Karno, sama seperti Megawati, Rachma tidak sebiduk dalam pandangan politik dengan sang kakak.
Terakhir Rachma tercatat sebagai politikus Partai Gerakan Indonesia Raya, selain menjadi pendiri dan Ketua Pembina Yayasan Pendidikan Bung Karno, dan pendiri Partai Pelopor.
Rachmawati menjalani pendidikannya di Jakarta. Ia sekolah di SD Perguruan Cikini, SMP Perguruan Cikini, dan SMA Santa Ursula Jakarta. Setelah lulus SMA, ia melanjutkan ke Universitas Indonesia di Fakultas Hukum. Rachmawati berkuliah S1 Hukum di Universitas Bung Karno pada tahun 2002 dan lulus meraih gelar Sarjana Hukum. Dia lalu melanjutkan kuliah S2 tahun 2017 dan meraih gelar Magister Hukum di kampus yang sama tahun 2020.
Rachma menikah dengan dr. Tommy Marzuki alias Martomo Pariatman Marzuki. Akad nikah berlangsung pada 1969, namun pernikahan tersebut tidak berlangsung lama. Pada 8 Oktober 1973 pasangan ini bercerai di pengadilan Jakarta Pusat.
Setelah berpisah dari Tommy, Rachma menikah dengan aktor film Dicky Suprapto pada tahun 1975. Dari pernikahan ini Rachma dikaruniai dua putra, Muhammad Marhaendra Putra dan Muhammad Mahardhika Putra.
Pernikahan dengan Dicky Suprapto tidak bertahan. Rachma kemudian menikah kembali pada tahun 1995 dengan Benny Sumarno. Benny adalah ayah dari aktor Anjasmara. Benny meninggal pada April 2018.
Tak Sehaluan dengan Megawati
Rachmawati dikenal publik berseberangan secara politik dengan Megawati. Suatu ketika Rachma bahkan pernah menuding Megawati melakukan makar. Itu terjadi di masa pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid.
Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Hasto Kristiyanto membalas pernyataan Rachmawati Soekarnoputri yang menuding Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri telah melakukan makar saat menjadi wakil presiden pendamping presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur (1999-2001).
Rachmawati menyebutkan makar yang dilakukan Megawati terjadi ketika Gus Dur hendak menetapkan Chairuddin Ismail sebagai Kapolri. Menurut Rachmawati, Megawati melakukan tindakan insubordinasi atas pilihan Gus Dur, agar Suroyo Bimantoro bisa menjadi Kapolri.
Menanggapi hal itu, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto menyampaikan pandangannya.
"Kami sangat menyayangkan pernyataan tersebut. Ibu Rachma sering membuat pernyataan yang kurang simpatik," ujar Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto lewat keterangan tertulis pada Rabu malam, 15 Mei 2019.
Hasto mengatakan kepemimpinan transisi antara Gus Dur dan Megawati saat itu dihadapkan pada persoalan yang kompleks, dimana krisis multidimensional terjadi. Megawati, ujar Hasto, hanya menjalankan konstitusi dan tugas pemerintahan sesuai dengan kebijakan MPR. Sebab saat itu kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara.
"Semua pihak seharusnya melihat dengan jernih apa yang terjadi dengan dualisme kepemimpinan Polri saat itu, antara Pak Bimantara dan Pak Chaerudin. Ketika Ibu Megawati mengukuhkan kembali Pak Bimantara, beliau telah dikukuhkan oleh MPR sebagai Presiden. Pak Amien Rais tahu semua itu," ujar Hasto, seperti ditulis Tempo.
Tujuannya, ujar Hasto, menghentikan keresahan di internal Polri. Soliditas Polri saat itu dinilai sangat penting di dalam menciptakan rasa aman dan ketentraman masyarakat, terlebih menghadapi situasi politik saat itu, seperti konflik di Maluku.
"Atas tuduhan pembangkangan juga tidak terbukti, sebab tidak pernah ada perintah pelantikan Kapolri, karena itu di luar kewenangan beliau sebagai wapres," ujar dia.
Pada masa masa kepemimpinan Gus Dur pada tahun 2001, terdapat dualisme kepemimpinan dalam tubuh Polri. Cerita tersebut juga tertuang dalam buku Melawan Skenario Makar: tragedi delapan perwira menengah Polri di balik kejatuhan presiden Gus Dur (2001) yang ditulis oleh Edi Budiyarso.
Ketika itu, Gus Dur terlibat perseteruan dengan DPR. Dia tidak mengindahkan Memorandum I dan II yang disodorkan oleh DPR, hingga akhirnya DPR yang saat itu diketuai Akbar Tandjung meminta MPR yang diketuai oleh Amien Rais, agar segera menggelar Sidang Istimewa.
Sebelum Sidang Istimewa digelar pada pada 19 Juli 2001, Gus Dur meminta persetujuan DPR untuk mendukung rencana penetapan Komisaris Jenderal Chaeruddin Ismail sebagai Kapolri, menggantikan Jenderal Surojo Bimantoro yang sudah dinonaktifkan Gus Dur sebagai Kapolri. Namun, permintaan Gus Dur tersebut tak disetujui DPR, tapi Chaeruddin tetap dilantik sebagai Pjs oleh Gus Dur.
Buntut dari pelantikan Pjs Kapolri ini, MPR lantas mempercepat Sidang Istimewa pada 23 Juli 2001. Hasilnya, Gus Dur lengser dan digantikan oleh Wakil Presidennya, Megawati Soekarnoputri. Usai menjadi Presiden, Megawati pun langsung mencabut jabatan nonaktif Kapolri Jenderal Polisi Surojo Bimantoro dan melantiknya kembali menjadi Kapolri.