Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Peraturan Menteri Keuangan Soal Tarif Layanan Sertifikasi Halal Disorot

Halal Insatitute menyoroti frasa "dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan negara" dalam PMK itu yang dapat dimaknai tidak semua pelaku UMK langsung dapat menikmati fasilitas ini.
Ilustrasi produk halal./Reuters-Darren Staples
Ilustrasi produk halal./Reuters-Darren Staples

Bisnis.com, JAKARTA - Halal Insatitute menyoroti beberapa hal yang berkaitan dengan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tarif Layanan Sertifikasi Halal.

Ketua Halal Institute, Andy Soebjakto Molanggato mengatakan bahwa searah dengan UU No.11 Tahun 2020 tentang Ciptaker,  PMK ini menetapkan tarif Rp0 bagi layanan sertifikasi halal, perpanjangan sertifikat halal, dan penambahan varian atau jenis produk bagi pelaku usaha mikro dan kecil (UMK).

“Kebijakan baru ini dapat dikatakan sangat mendukung, membantu, dan memfasilitasi pelaku UMK. Ini bertentangan dengan dugaan dan tudingan beberapa kalangan selama ini yang menilai pewajiban sertifikasi halal akan semakin menyulitkan pelaku di sektor itu,” ujarnya Rabu (16/6/2021)

Meski begitu, pihaknya menyoroti frasa "dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan negara" dalam PMK itu yang dapat dimaknai tidak semua pelaku UMK langsung dapat menikmati fasilitas ini.

Masalahnya, tuturnya, adalah jumlah pelaku UMKM yang mendapatkan fasilitas Rp0, karena berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UMK tahun 2018-2019 adalah sebesar 65,4 juta  unit atau sekitar 99,89 persen dari total pelaku usaha di Indonesia.

Dengan demikian, pasar sertifikasi halal reguler adalah sebesar-besarnya 70.000 unit usaha, sedangkan 65 juta unit usaha mendapatkan fasilitas Rp0 rupiah.

"Bagaimana melaksanakan fasilitasi untuk 65 juta unit usaha ini yang dapat dipahami mengapa muncul frasa dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan negara," ujarnya

Tampaknya, pelaku UMKM harus rajin-rajin menuntut haknya untuk mendapatkan fasilitas layanan sertifikasi halal Rp 0.

Sementara pada saat yang sama, dia melihat pelaku usaha besar hanya terkena tarif ringan yang flat. "Darimana negara memaksimalkan kemampuan keuangannya untuk memenuhi tuntutan pelaku UMK. Berbalik dari situasi yang digambarkan tadi," paparnya. 

Persoalan sertifkasi halal ini lebih memberatkan negara dibanding memberatkan pelaku UMKM. Dia memandang hal ini dapat menjadi bom waktu bila tidak dikelola dengan baik, sementara pemerintah terikat pada kewajiban melaksanakan UU JPH dan UU CK.

Hal  lain yang disoroti dari daftar tarif layanan sertifikasi halal di PMK, hanya tarif yang berkaitan langsung dengan BPJPH yang diatur, sedangkan tarif yang dapat timbul dari pelayanan lain, misalnya tarif pemeriksaan halal oleh LPH dan tarif sidang fatwa penetapan kehalalan produk oleh MUI tidak disebutkan dalam daftar.

Untuk tarif pemeriksaan halal oleh lembaga pemeriksan telah dijelaskan dalam Pasal 7 ayat (3) PMK, mengacu pada biaya yang ditetapkan oleh Kepala BPJPH.

Sangat mungkin penetapan Kepala BPJPH tentang tarif pemeriksaan halal oleh LPH akan berbentuk range tarif terbawah hingga paling tinggi. “Hal yang harus diamati bersama adalah jangan sampai tarif pemeriksaan halal ini jauh lebih tinggi dibanding tarif lainnya,” tuturnya.

PMK, tuturnya, tidak memberi sedikitpun arahan mengenai tarif sidang fatwa penetapan kehalalan produk oleh MUI. Ini berbeda dari ketentuan tentang tarif pemeriksaan halal oleh LPH yang ditetapkan oleh Kepala BPJPH. Dalam hal fatwa ini, ungkap[nya, Kepala BPJPH tidak memiliki pijakan hukum untuk menetapkan biaya sidang fatwa tersendiri.

Andy menduga hal ini disebabkan karena persoalan tarif fatwa dapat menjadi masalah yang sumir untuk dinyatakan dalam PMK, meskipun semua orang paham bahwa honor untuk sidang fatwa MUI adalah hal yang wajar.

Apalagi, lanjutnya, keberadaan MUI dinyatakan jelas dalam UU. Menurutnya, salah satu opsi jalan keluar dari permasalahan ini adalah memasukkan biaya sidang fatwa MUI ke dalam tarif pemeriksaan halal oleh LPH, yang berarti bergantung pada LPH dan dapat menimbulkan risiko mengurangi independensi MUI dalam menetapkan fatwa kehalalan produk.

Karena itu, pihaknya mengimbau agar Agar PMK 57/PMK.05/2021 tentang Layanan Sertifikasi Halal segera dijadikan pedoman BPJPH dalam menyelenggarakan JPH dan Kepala BPJPH segera menyusun pedoman biaya tarif pemeriksaan halal oleh LPH dengan mempertimbangkan aspek profesionalitas, akuntabilitas, proporsionalitas, dan keadilan.

Langkah ini harus dilakukan agar pelaku usaha mendapatkan pelayanan pemeriksaan halal dengan biaya yang terjangkau.

“Kepala BPJPH juga kami imbau mengakomodasi fasilitas honorarium untuk sidang fatwa MUI,untuk menjembatani kepentingan seluruh stakeholder dan menjaga kesinambungan proses," tegas Andy.

Dia menambahkan salah satu opsinya adalah menempatkan honorarium ke dalam item tarif pemeriksaan halal oleh LPH. Namun kesemuanya dengan catatan tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang telah ada.

Imbauan ini juga mencakup kebijakan tarif Rp 0 untuk layanan sertifikasi halal bagi pelaku UKM segera diwujudkan secara keseluruhan serta BPJPH mesti bekerja sama dengan Halal Center, Perguruan Tinggi, lembaga pelatihan, Ormas Islam, dan LSP untuk memastikan dapat mencakup keseluruhan aspek jaminan produk halal dan layanan sertifikasi halal yang sangat luas cakupannya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper