Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pemerintah Kurang Serius Tangani Krisis Iklim, Ini Buktinya

Direktur Eksekutif Rumah Indonesia Berkelanjutan (RIB) Yusdi Usman mengatakan sebagai negara kepulauan, Indonesia adalah salah satu negara yang sangat rentan dengan krisis iklim
Banjir bandang melanda wilayah Waiwerang dan sekitarnya di Kecamatan Adonara Timur, Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, pada Minggu (4/4/2021) WITA dini hari./Antara
Banjir bandang melanda wilayah Waiwerang dan sekitarnya di Kecamatan Adonara Timur, Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, pada Minggu (4/4/2021) WITA dini hari./Antara

Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah Indonesia dianggap masih kurang serius dalam melakukan pencegahan krisis iklim.

Hal ini terlihat dari belum adanya upaya pemerintah untuk memasukkan program stimulus pencegahan krisis iklim dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2022 yang sedang disusun oleh Bappenas dan Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) 2022 yang sedang disusun oleh Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan.

Direktur Eksekutif Rumah Indonesia Berkelanjutan (RIB) Yusdi Usman mengatakan sebagai negara kepulauan, Indonesia adalah salah satu negara yang sangat rentan dengan krisis iklim.

“Krisis iklim berpotensi mengancam keamanan negara, krisis pangan, kelangkaan air bersih, datangnya berbagai bencana seperti yang baru-baru ini melanda Nusa Tenggara Timur [NTT],” katanya dalam keterangan resmi, Jumat (23/4/2021).

Dia mengatakan pemerintah sudah mempunyai dukungan kebijakan yang memadai, baik UU No 16/2016 tentang pengesahaan Paris Agreement mengenai perubahan iklim, dan sejumlah perangkat kebijakan lainnya. Namun, dia menilai di level aksi (tindakan) dalam mitigasi krisis iklim masih sangat lemah.

Kelemahan ini termasuk belum diarahkannya APBN 2022 untuk selaras dengan mitigasi perubahan iklim ini. Jika APBN belum diarahkan untuk mendukung green economy dalam rangka mitigasi krisis iklim, lanjut Yusdi, maka dikhawatirkan target NDC (Nationally Determined Contribution) Indonesia 2030 tidak akan tercapai.

Padahal, seperti dinyatakan dalam UU No 16/2016, Indonesia berkomitment untuk menurunkan emisi karbon sebesar 29 persen dengan usaha sendiri dan 41 persen dengan dukungan dunia internasional pada 2030.

Padahal, menurut data yang dikeluarkan oleh Climate Watch 2017, Indonesia menempati urutan kelima secara global sebagai negara penyumbang emisi gas rumah kaca. Indonesia menghasilkan emisi sebesar 2275,4 MtCO2e.

Sementara 4 negara penghasil emisi yang lebih besar dari Indonesia pada 2017 masing-masing adalah China (11.780,99 MtCO2e), Amerika Serikat (5766,92 MtCO2e), India (3.356,7 MtCO2e), dan Rusia (2.460,27 MtCO2e).

Hal senada disampaikan Sekjen FITRA (Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran) yang sekaligus penggagas Gerakan Ekonomi Hijau Masyarakat Indonesia (Generasi Hijau) Misbah Hasan. Menurut Misbah, pemerintah sudah harus lebih fokus pada upaya mitigasi krisis iklim secara lebih ambisius. Salah satunya adalah bagaimana membuat kebijakan anggaran afirmasi dengan memasukkan stimulus green recovery dalam APBN 2022.

Stimulus green recovery ini, lanjut Misbah, perlu dinyatakan secara eksplisit dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2022 yang sedang disusun oleh Bappenas dan Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) 2022 yang sedang disusun oleh Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan.

“Kedua dokumen perencanaan ini akan diserahkan kepada DPR RI pada 18 Mei 2021,” ungkapnya.

Selain sebagai kebijakan afirmasi, green stimulus ini bisa menjadi bagian penting dari green recovery dari covid-19. Anggaran green recovery merupakan anggaran dalam Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) 2022.

Misbah melanjutkan bahwa green recovery dalam penanganan covid-19 bukan saja menguntungkan untuk pemulihan ekonomi nasional, melainkan juga membantu dalam mitigasi krisis iklim yang ada di depan mata kita. Dia menyarankan pemerintah memasukkan stimulus green recovery dalam RKP 2022 dan KEM PPKF 2022 untuk tiga sektor, yakni energi, pertanian, dan persampahan.

“Selain tiga sektor tersebut, pemerintah juga bisa mempertimbangkan untuk sektor lahan dan industri”, tutup Misbah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper