Bisnis.com, JAKARTA – Apa persamaan antara kiai dan sopir? Jika berpikir dengan logika linear, siapa pun akan sulit menjawabnya.
Lain halnya, jika dua hal itu dilihat sebagai seloka, seperti pernah disampaikan K.H. Noer Muhammad Iskandar SQ, yang meninggal hari ini, Minggu (13/12/2020) sekitar pukul 13.41 WIB.
Dikenal sebagai da’i di salah satu televisi nasional, semasa hidupnya almarhum pernah melontarkan seloka atau gambaran soal posisi seorang kiai.
Menurut K.H. Noer Muhammad Iskandar, SQ kiai persis seperti seorang sopir yang harus menjalankan mobil dengan lima gigi.
“Ia hanya menghitung secara pas kapan harus berjalan dengan gigi satu, dua, tiga, empat hingga lima. Keterampilan untuk “pindah” secara cepat dari gigi satu ke gigi lain dituntut begitu rupa agar jalannya mobil tidak terhentak-hentak dan membuat penumpang di dalamnya mengalami kejutan simbolik,” ujar Kiai Noer, demikian sapaan akrabnya seperti dikutip dari www.asshiddiqiyah.com.
Kiai Noer dikenal sebagai pendiri sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Asshiddiqiyah. Ponpes yang memadukan sistem pembelajaran klasik dan modern tersebut memilik tak kurang dari 11 cabang di dalam dan luar kota.
Baca Juga
Lahir di Banyuwangi 5 Juli 1955 dari pasangan Kiai Iskandar dan Nyai Rabiatun, Kiai Noer memulai pendidikannya di pesantren tradisional Jawa Timur. Kemudian ia sekolah di Jakarta dan mengembangkan pondok pesantren di kota besar dengan karakter budaya yang berbeda dengan kultur dasarnya.
Kiai Noer Muhammad Iskandar mewakili sosok pemuka agama yang sempat mengalami “perpindahan kebudayaan atau migrasi kultural.”
Gejala migrasi ini berlangsung intensif pada sejumlah anak pesantren yang lain. Ratusan, bahkan mungkin ribuan anak pesantren yang, usai menyelesaikan pendidikan di lembaga tradisional, “menyeberangi” sekat kultur dan geografis yang memisahkan mereka.
Merekalah santri yang semula tinggal di desa memasuki alam perkotaan dengan cara pindah atau merantau.
Di kota besar, Kiai Noer berhasil mendirikan pesantren sebagai bagian dari “intelektualisasi” santri-santri Jawa.
Ia tidak saja berhadapan dengan publik atau audiens yang seluruhnya abstrak dan anonim, tetapi juga suatu publik yang konkret, yaitu para santrinya sendiri.
Dalam kasus tertentu, Kiai Noer Muhammad Iskandar ini juga terlibat dalam bimbingan haji bagi kalangan elit dan menengah.
Orang-orang yang dibimbing tidak jarang adalah artis atau tokoh tertentu yang sudah sejak lama membangun perkenalan pribadi dengannya.
Membangun pesantren di ibu kota bukan tanpa perjuangan. Perjalanan dan perjuangan panjang harus dilalui Kiai Noer dengan berbagai tantangan.
Berkat dukungan dan dorongan yang kuat dari Kiai Mahrus Ali, Pimpinan Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, Kiai Noer Muhammad Iskandar, SQ pun berhasil.
“Ia banyak membuka wawasan dan cakrawala berpikir saya akan pentingnya pendidikan bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia,” kata Kiai Noer tentang Kiai Mahrus Ali.
Dalam upaya membuka cakrawala berpikir dan memahami Alquran, Kiai Noer berpendapat bawha santri harus bisa membuka wawasan yang seluas-luasnya, untuk memahami simbol-simbol Al-Qur'an lebih dari sekadar pemahaman ubudiyah.
Begitu banyak ajaran Al-Qur'an yang sampai kini belum tergali, dan tak akan pernah selesai tergali sampai kiamat.
Mencari esensi dan memahami Al-Qur'an menjadi hal yang diperhatikan Kiai Noer.
Kini Kiai Noer sudah berpulang, semoga pemikiran almarhum ada yang melanjutkan.