Bisnis.com, JAKARTA – Anjloknya penumpang akibat pandemi Covid-19 dan tren menyusutnya populasi di Jepang menguak masa depan yang sulit bagi kereta cepat Shinkansen.
Shinkansen merupakan simbol global dari teknologi Jepang selama lebih dari 50 tahun. Shinkansen juga menjadi kebanggan nasional dan elemen [enting dari infrastruktur transportasi di Jepang.
Sejak diluncurkan pada 1964, kereta cepat ini telah membuktikan diri sebagai transportasi yang aman, tahan banting, dan juga mampu mendulang profit yang tidak sedikit.
Sejauh ini, tantangan ekonomi yang ditimbulkan akibat Covid-19 terlihat tak seberapa jika dibandingkan dengan bencana besar yang pernah menimpa Jepang pada 2013 yakni gempa bumi, tsunami, dan kebocoran nuklir.
Tetapi efek lanjutan dari pandemic Covid-19 terhadap keberlangsungan Shinkasen memang patut dipertanyakan. Berdasarkan Central Japan Railway Company, laba perusahaan yang mengoperasikan Tokaido Shinkansen anjlok hampir 73 persen pada kuartal II/2020 dibandingkan tahun lalu.
Dilansir Bloomberg, Selasa (13/10/2020), jumlah penumpang Tokaido Shinkansen sepanjang 7-17 Agustus 2020 juga turun 76 persen.
Baca Juga
Perusahaan lainnya yang mengoperasikan kereta cepat ini, JR East, mengumumkan kerugian untuk pertama kalinya pada kuartal I/2020 dan memangkas layanan kereta cepat ini 40 persen sejak Mei tahun ini.
Perusahaan ini bahkan memperkirakan bakal mengalami kerugian terbesarnya sejak sektor kereta api Jepang diprivatisasi yakni US$3,96 miliar pada tahun fiskal 2020.
“Pada Oktober, kami akan mengoperasikan 360 kereta setiap hari,” kata JR Central.
Namun, JR Hokkaido, operator kereta cepat lainnya, mengemukakan turunnya penumpang tidak serta merta membuat layanan kereta menjadi berkurang. “ Kebanyakan akibat upaya kami untuk melakukan pembatasan saat pandemi Covid-19,” terang perusahaan ini.
Selain Covid-19, tantangan jangka panjang juga harus dihadapi oleh kereta cepat ini yakni ancaman terus menurunnya populasi di Negeri Matahari Terbit ini.
Populasi negara ini diproyeksi menyusut hingga 35 persen dengan tingkat kelahiran yang sangat rendah. Apalagi, anak muda mulai bermigrasi ke kota-kota besar misalnya Tokyo, dimana angka kelahiran di kota ini sangat rendah.
Bahkan, sebuah laporan organisasi independen yang diterbitkan pada 2014 menyebutkan separuh dari kota regional Jepang akan punah pada 2050.