Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Gugatan UU KPK : Tiga Versi Cerita dari Elemen KPK

Perbedaan pandangan itu terekam dalam sidang perkara pengujian UU No. 19/2019 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).
Petugas keamanan melintas di depan gedung Mahkamah Konstitusi (MK). Lembaga itu tengah menyidangkan uji materi UU KPK./Bisnis-Felix Jody Kinarwan
Petugas keamanan melintas di depan gedung Mahkamah Konstitusi (MK). Lembaga itu tengah menyidangkan uji materi UU KPK./Bisnis-Felix Jody Kinarwan

Bisnis.com, JAKARTA — Tiga elemen internal Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK tidak satu suara menilai dampak pemberlakuan UU KPK hasil revisi dalam manajemen penindakan tindak pidana korupsi.

Perbedaan pandangan itu terekam dalam sidang perkara pengujian UU No. 19/2019 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Mahkamah Konstitusi menghadirkan tiga elemen KPK—Dewan Pengawas, pimpinan, dan pegawai—untuk memberikan pandangan terkait beleid tersebut.

Dewan Pengawas KPK berpendangan bahwa UU 19/2019 tidak melemahkan proses pro justicia. Sementara itu, pimpinan berpandangan moderat bahwa UU KPK hasil revisi mengandung kelemahan sekaligus kelebihan. Sebaliknya, pegawai yang diwakili oleh penyidik senior Novel Baswedan berargumen beleid tersebut melemahkan penindakan korupsi.

Ketua Dewan Pengawas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean mengklaim bahwa organ yang dipimpinnya itu lebih menjamin transparansi, akuntabilitas, dan kepastian hukum penindakan korupsi. Terkait dengan izin penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan pun hampir semua mendapatkan lampu hijau.

"Kami tidak pernah mencampuri masalah penanganan perkara. Yang kami campuri adalah apakah permohohan izin memenuhi syarat-syarat," katanya dalam sidang secara virtual di Jakarta, Rabu (23/9/2020).

Selama 9 bulan, Tumpak mengatakan bahwa Dewan Pengawas menyetujui 85 permohonan izin penyadapan, 31 permohonan izin penggeledahan, dan 260 permohonan izin penyitaan. Di sisi lain, terdapat permohonan izin penyitaan yang ditolak karena tidak memenuhi persyaratan.

Kendati menganggap UU 19/2019 tidak mengganggu penindakan, Tumpak mengakui bahwa beleid tersebut belum sempurna mengatur kelembagaan. Salah satunya mengenai ketiadaan klausul kedudukan Dewan Pengawas dalam tubuh KPK. UU tersebut juga sebatas memberikan tugas kepada Dewan Pengawas KPK tanpa memuat kewenangannya.

Sementara itu, Komisioner KPK Alexander Marwata membenarkan bahwa Dewan Pengawas KPK tidak menghambat permohonan izin penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan tindak pidana korupsi. Sampai sejauh ini, menurut dia, seluruh proses pro justicia tersebut selalu mendapatkan lampu hijau.

Meski demikian, Marwata mengakui bahwa perizinan sejak berlakunya revisi UU KPK memerlukan tahapan dan waktu lebih panjang. Padahal, ujar dia, proses seperti penggeledahan dan penyitaan terkadang perlu segera dilakukan dalam keadaan mendesak.

“Dalam keadaan mendesak mungkin perlu ada modifikasi [pengaturan],” katanya.

Secara pribadi, Marwata berpendapat bahwa Dewan Pengawas KPK tidak perlu ikut menggarap proses pro justicia. Logikanya, lembaga pengawas lebih tepat berperan melakukan supervisi pimpinan selaku penanggung jawab tertinggi.

“Mereka akan lebih jeli dan teliti menyikapi upaya-upaya manajemen KPK,” tuturnya.

Berbeda dengan dua organ lain, penyidik Novel Baswedan mengeluhkan pemberlakuan UU 19/2019 karena menghambat penindakan. Kendati mengakui permohonan izin timnya belum pernah dimentahkan oleh Dewan Pengawas, dia berpendapat proses menjadi lebih lama.

Menurut Novel, terdapat tiga ekses dalam bidang penindakan sejak berlakunya UU 19/2019. Pertama, akuntabilitas tidak terjamin seperti wewenang menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan atau penuntutan.

Kedua, hilangnya kemampuan KPK untuk mendeteksi korupsi dengan cepat karena penyadapan harus seizin Dewan Pengawas KPK. Ketiga, KPK tidak leluasa dalam penindakan karena penggeledahan dan penyitaan mesti disetujui pula oleh Dewan Pengawas KPK.

“Dibandingkan dengan penegak hukum lain, KPK lebih tidak berdaya karena tidak bisa [bergerak cepat] dalam keadaan mendesak. Ini ironi ketika korupsi dipandang sebagai kejahatan luar biasa,” ucapnya.

Berbekal pengalaman empiris tersebut, Novel sependapat dengan permohonan para penggugat bahwa UU KPK hasil revisi melemahkan kinerja lembaga antirasuah. Pelemahan itu, menurut dia, tidak sesuai dengan amanat Reformasi 1998 dan UUD 1945.

“Revisi [UU KPK melalui] UU 19/2019 dampaknya begitu nyata dan terlihat [dalam pelemahan KPK]. MK adalah benteng terakhir untuk menjaga agar tidak ada penyimpangan dari konstitusi,” katanya.

Penyampaian keterangan tiga elemen KPK menjadi sidang terakhir dalam perkara pengujian UU 19/2019 yang telah bergulir sejak setahun silam. Gugatan UU KPK, baik formil maupun materiil, tinggal menyisakan tujuh perkara.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper