Bisnis.com, JAKARTA - Yoshihide Suga, kandidat paling potensial pengganti Shinzo Abe yang saat ini menjabat Sekretaris Kabinet, menghadapi tantangan serius untuk memulihkan aktivitas ekonomi Jepang sekaligus menahan penyebaran virus Corona.
Tantangan itu tampak semakin nyata setelah Jepang mengkonfirmasi skala rekor kontraksi ekonominya pada kuartal terakhir dengan angka yang sedikit lebih buruk dari perkiraan awal. Hal itu sekaligus menyoroti tantangan besar yang dihadapi negara itu saat partai yang berkuasa secara resmi memulai kampanyenya untuk pemimpin baru hari ini.
Menurut data yang direvisi dari Kantor Kabinet, produk domestik bruto turun 28,1 persen secara tahunan dari kuartal sebelumnya pada kuartal kedua 2020. Angka keseluruhan sebagian besar sejalan dengan perkiraan awal, sedangkan investasi bisnis lebih dari tiga kali lebih lemah.
Angka-angka tersebut juga menunjukkan penumpukan barang-barang yang tidak terjual, menambah tanda-tanda bahwa ekonomi terbesar ketiga di dunia itu mengalami pemulihan yang lambat.
Konfirmasi penurunan PDB terbesar Jepang sejak 1955 bersamaan dengan Partai Demokrat Liberal atau LDP yang bersiap untuk memilih perdana menteri baru untuk menggantikan Shinzo Abe. Bulan lalu pengunduran diri Abe dengan alasan kesehatan mengejutkan negara itu.
"Perdana menteri berikutnya harus menetapkan langkah-langkah virus Corona sebagai prioritas pertama. Ekonomi akan mengalami rebound dua digit, tetapi kecepatan pemulihan akan lambat," kata ekonom Masaki Kuwahara dari Nomura Securities Co, dilansir Bloomberg, Selasa (8/9/2020).
Baca Juga
LDP akan memilih pemimpin barunya pada 14 September dan kemudian menggunakan mayoritasnya di parlemen untuk memilih kandidat perdana menteri berikutnya pada 16 September.
Sementara itu Suga telah menyatakan akan tetap berpegang pada jalur Abenomics yang mencakup stimulus moneter besar-besaran dan pendekatan pengeluaran yang fleksibel, tetapi juga akan mengambil lebih banyak tindakan jika diperlukan untuk menyelamatkan lapangan kerja.
Di antara keputusan kunci untuk pemimpin baru adalah kapan dan seberapa agresif untuk beralih dari bantuan darurat bagi bisnis dan rumah tangga untuk merangsang ekonomi.
Sebuah laporan terpisah menunjukkan penurunan dalam pengeluaran rumah tangga yang tajam pada Juli, sebesar 7,6 persen di bawah level tahun lalu karena konsumen mengurangi perjalanan dan makan di luar di tengah lonjakan kasus virus. Ini menjadi sebuah indikasi dari kesulitan memperluas aktivitas tanpa menghentikan pemulihan.
Upah pekerja turun untuk bulan keempat pada Juli dibandingkan dengan tahun sebelumnya, menambah tekanan pada konsumsi.
Analis memprediksi PDB akan mengalami rebound sekitar 13 persen kuartal ini, lompatan besar tetapi tidak cukup untuk menutupi kontraksi tiga kuartal berturut-turut.
Bloomberg Economics berpendapat ekonomi mungkin tidak akan pernah kembali ke posisi sebelum pandemi karena krisis telah menunda lebih lanjut reformasi penting yang diperlukan sebelum populasi Jepang yang menyusut menyebabkan penurunan jangka panjang.
Menurut sebuah sumber, pada pertemuan minggu depan, Bank of Japan kemungkinan akan menaikkan penilaian ekonominya untuk menunjukkan bahwa kemerosotan Jepang telah mencapai titik terendah, meski tanpa mengungkapkan optimisme tentang prospek tersebut.
Namun, pejabat bank sentral Jepang melihat sedikit kebutuhan untuk mengambil tindakan kebijakan lebih lanjut karena pasar keuangan masih stabil dan perusahaan memiliki akses ke kredit.