Bisnis.com, LIMA – Kabar mengejutkan datang dari Peru. Sebanyak 915 perempuan dan anak perempuan dilaporkan hilang di negara Amerika Selatan itu selama masa karantina wilayah akibat wabah Covid-19, menurut pejabat urusan hak perempuan.
Sebagaimana dilansir Antara pada Rabu (5/8/2020) dengan mengutip Reuters, para korban hilang itu terdiri dari 309 perempuan dan 606 anak perempuan dalam laporan antara 16 Maret hingga 30 Juni 2020.
Isabel Ortiz, komisioner hak perempuan di kantor Ombudsman Nasional Peru, menyebut bahwa pencatatan harus tetap dijalankan untuk menelusuri jejak mereka yang hilang atas pertimbangan jumlah kasus yang tinggi itu. "Angka ini mengkhawatirkan," ujarnya.
Dia menambahkan hal itu harus dilakukan bagaimana pun keadaan perempuan hilang itu hingga ditemukan, entah masih hidup atau meninggal dunia, serta apakah mereka korban perdagangan seks, kekerasan dalam rumah tangga, atau pembunuhan perempuan.
"Kami mengetahui jumlah perempuan dan anak perempuan yang hilang, namun kami tidak mempunyai informasi terperinci tentang berapa banyak yang telah ditemukan. Kami tidak mempunyai catatan yang tepat dan mutakhir," ujar Ortiz.
Tanpa data semacam itu, selamanya tidak akan diketahui bagaimana keadaan selanjutnya para perempuan yang dilaporkan hilang tersebut. Sebagian dari mereka kemungkinan merupakan korban kekerasan berbasis gender.
"Dalam beberapa kasus, pelaku (kekerasan atau pembunuhan) adalah orang yang melaporkan bahwa korban hilang," kata Ortiz.
Komisi nasional untuk pencatatan orang hilang akan memungkinkan terjadinya pertukaran silang informasi dengan kasus kejahatan terhadap perempuan lainnya untuk membantu penemuan korban dan mengidentifikasi pelaku.
"Kita memerlukan pencatatan yang lebih tepat agar dapat membuat kita mengaitkan kasus perempuan hilang dengan kejahatan lain, seperti perdagangan manusia dan kekerasan seksual," tutur Ortiz.
Negara-negara di seluruh dunia melaporkan adanya peningkatan kasus kekerasan dalam rumah tangga selama masa pembatasan sosial akibat pandemi Covid-19.
Menurut Ortiz, di Amerika Latin dan Karibia, kasus pembunuhan perempuan serta kekerasan terhadap perempuan memang tinggi karena kultur kejantanan (macho culture) dan norma sosial yang mengatur peran perempuan.
"Kekerasan terhadap perempuan terjadi karena banyak pola patriarki yang berlaku di masyarakat. Banyak sekali stereotip tentang peran perempuan yang mengatur perilaku semestinya, dan ketika tidak sesuai, maka kekerasan digunakan terhadap mereka," ujar Ortiz.