Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

'Pasar Gelap' Pilkada, Praktik Konglomerasi Mampu Borong Partai

"Pasar gelap” terjadi menjelang pendaftaran bakal calon kepala daerah ke partai politik.
Ilustrasi/ANTARA-Arif Firmansyah
Ilustrasi/ANTARA-Arif Firmansyah

Bisnis.com, JAKARTA - Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi NasDem Saan Mustofa mengatakan Undang-Undang Pilkada perlu mengatur cara bakal calon kepala daerah mendapatkan dukungan partai.

Dengan demikian bisa diperoleh kepala daerah yang berkulitas dan tidak menimbulkan politik berbiaya tinggi.

Hal itu dikemukakan Saan dalam diskusi bertajuk “Kekhawatiran menguatnya dinasti politik”.

Selain Saan, pembicara lain adalah Anggota Komisi II DPR dari Faksi PKS Mardani Ali Sera dan Zulfikar Arse Sadikin dari Fraksi Golkar, serta Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini.

Menurut Saan, berdasarkan pengalaman selama ini, terjadi “pasar gelap” menjelang pendaftaran bakal calon kepala daerah ke partai politik.

Tawar-menawar dukungan politik bersifat transaksional itu terjadi dengan mudah karena tidak ada aturan tentang hal itu dalam Undang-Undang Pilkada.

“Cara untuk mendapatkan dukungan itu kan tidak diatur dalam undang-undang sehingga muncul ‘pasar gelap’ untuk mendapatkan dukungan karena kerumitan untuk mendatangi partai-partai,” ujar Saan, Selasa (28/7/2020).

Menurut Saan “pasar gelap” itu tidak saja mempersulit calon yang berkualitas untuk tampil, tetapi juga menimbulkan politik biaya tinggi dan menyuburkan dinasti politik.

Bahkan dia mengatakan ada praktik konglomerasi yang mampu memborong partai untuk mendapatkan dukungan sekaligus menghalangi calon lain untuk maju.

“Maka tidak aneh misalnya, kalau banyak konglomerasi yang mendorong semua partai agar, misalnya, bisa mendorong calon tunggal atau menjadikan dua pasang untuk head to head,” kata Saan.

Terkait dinasti politik, Saan mengatakan praktik tersebut sudah berlangsung lama sejak Pilkada langsung pertama dilakukan pada 2005.

Menurut Saan karena hal itu tidak melanggar undang-undang, diperlukan cara untuk membentengi agar praktik politik dinasti tidak mereduksi kualitas personal calon. "Itulah yang harus diatur," ujar Saan.

Sementara itu, Titi Anggraini mengatakan bahwa dinasti politik telah merusak demokrasi yang dibangun setelah era reformasi.

Dia mengatakan politik dinasti cenderung melahirkan pemerintahan yang korup.

Menurutnya, dinasti politik muncul dari pencalonan oleh partai yang banyak dibiayai oleh elite politik itu sendiri.

Artinya, dengan praktik oligopoli di tubuh partai, elite politik akan cenderung menyerahkan kekuasaan kepada kerabatnya karena telah banyak membiayai partai.

Kondisi itulah yang membuat calon lain yang berkualitas sulit untuk muncul sebagai calon kepala daerah dari partai politik tersebut, kata Titi.

“Seharusnya ke depan Undang-Undang Pilkada harus ramah terhadap calon-calon potensial yang punya rekam bidang politik yang memadai, punya komitmen yang tinggi dan juga punya kapabilitas untuk memimpin sebuah daerah,” kata Titi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Saeno
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper