Bisnis.com, JAKARTA -- Pemerintah menetapkan sekolah yang berada di zona hijau Covid-19 sudah boleh kembali melaksanakan kegiatan belajar secara tatap muka.
Hal itu berlaku mulai bulan ini, Juli 2020, namun dengan berbagai syarat dan ketentuan yang mengikutinya.
Seperti diketahui, bukan hanya Indonesia yang tengah berjuang melawan pandemi Covid-19. Banyak negara lain yang juga menyusun strategi untuk mengembalikan kegiatan belajar ke sekolah.
Sejauh ini beberapa negara telah membuka kembali sekolah setelah berhasil menekan kurva penambahan pasien baru per hari.
Pemberlakuan protokol kesehatan, seperti menjaga jarak fisik dan membatasi keterisian kelas terbilang efektif menjaga lonjakan kasus Covid-19 baru.
Dilansir The New York Times, Minggu (12/7/2020), Norwegia dan Denmark merupakan contoh baik dalam hal pembukaan kembali sekolah.
Baca Juga
Kedua negara melakukannya pada April 2020 setelah lebih dari satu bulan mengimplementasikan kegiatan belajar dari rumah.
Norwegia dan Denmark terlebih dahulu membuka sekolah untuk anak berusia kurang dari 15 tahun. Itu artinya pemerintah negara tersebut masih menutup sekolah menengah atas (SMA).
Menurut seorang ahli epidemiologi dari Prancis, Arnaud Fontanet, usia memegang peran dalam skenario penyebaran virus Corona.
Studi kasus di beberapa negara menunjukkan hal tersebut. Anak yang berusia lebih muda cenderung memiliki peran lebih kecil dalam menyebarkan virus Corona dibandingkan dengan orang dewasa.
Satu contoh kasus berasal dari satu wilayah di Prancis Utara, Crépy-en-Valois. Dua guru sekolah menengah di sana positif Covid-19 pada awal Februari, sebelum sekolah ditutup. Para ilmuwan kemudian menguji siswa dan staf sekolah untuk antibodi virus Corona.
Arnaud Fontanet, ahli epidemiologi di institut yang memimpin penelitian dan merupakan anggota komite penasihat pemerintah Prancis, mengatakan ditemukan antibodi pada 38 persen siswa, 43 persen guru, dan 59 persen staf sekolah lainnya.
"Jelas menunjukan bahwa virus itu beredar di sekolah," kata Fontanet.
Kemudian, tim menguji siswa dan staf dari enam sekolah dasar di masyarakat.
Penutupan sekolah pada pertengahan Februari memberikan kesempatan untuk melihat apakah anak-anak kecil telah terinfeksi ketika sekolah sedang berlangsung, periode ketika virus menyerang siswa sekolah menengah.
Peneliti menemukan antibodi hanya pada 9 persen siswa sekolah dasar, 7 persen guru, dan 4 persen staf lainnya.
Mereka mengidentifikasi tiga siswa di tiga sekolah dasar yang berbeda mengikuti kelas dengan gejala Covid-19 akut sebelum sekolah ditutup.
Dua dari siswa bergejala memiliki saudara kandung di sekolah menengah dan yang ketiga memiliki saudara perempuan yang bekerja di sekolah menengah.
Penelitian ini juga menunjukkan bahwa ketika seorang siswa sekolah dasar dites positif antibodi virus Corona, ada kemungkinan yang sangat tinggi bahwa orang tua siswa ikut terinfeksi.
Fontanet mengatakan bahwa temuan ini menunjukkan bahwa anak yang lebih tua mungkin dapat menularkan virus lebih mudah daripada anak yang lebih muda.
Pola serupa juga tercermin dari kejadian di Gymnasia Rehavia, sebuah sekolah menengah di Israel. Di sana tercatat menjadi satu wabah sekolah terbesar yang melibatkan sekitar 175 siswa dan staf.
Ada berbagai teori soal anak yang berusia lebih tua lebih mungkin menularkan virus dibandingkan dengan anak yang berusia lebih muda.
Beberapa ilmuwan mengatakan bahwa anak-anak yang lebih kecil memiliki kemungkinan rendah memiliki gejala Covid-19 seperti batuk dan kecil kemungkinan berbicara dengan lantang. Kedua hal itu lazimnya dapat menularkan virus dalam bentuk droplet.
Peneliti lain sedang memeriksa apakah protein yang memungkinkan virus untuk memasuki sel paru-paru dan mereplikasi secara kurang berlimpah pada anak-anak. Pada akhirnya, keterbatasan replikasi protein ini membatasi tingkat infeksi dan kemampuan virus untuk berpindah ke orang lain.