Bisnis.com, JAKARTA – Dilonggarkannya pembatasan dan lockdown di sejumlah negara, terutama Amerika Serikat, menimbulkan kekhawatiran terjadinya gelombang wabah kedua yang lebih besar.
Bahkan, Presiden Trump sudah mengembar-gemborkan program 'Opening Up America Again' dengan sejumlah aturan dan fase-fase pelonggaran yang harus ditaati oleh setiap negara bagian di AS.
Namun, perlu dipahami bersama, pandemi Corona ini mengingatkan pada wabah global flu Spanyol tahun 1918 yang masih menjadi paling mematikan dalam catatan sejarah. Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC), pandemi ini menewaskan sekitar 50 juta orang di seluruh dunia. Di AS sendiri, korban tewas mencapai lebih dari 500.000 jiwa.
Alexander Navarro dari Pusat Sejarah Kedokteran Universitas Michigan adalah salah satu penyelenggara riset 'Influenza Archive', kumpulan katalog informasi dan studi mengenai efek wabah flu Spanyol 1918 di 43 kota besar AS.
Penelitian ini mencari jawaban mengenai efektivitas jarak interaksi sosial pada tahun 1918 sebagai cara untuk memperlambat penyebaran penyakit.
Navarro mengatakan kota-kota yang menutup sekolah dan melarang pertemuan publik bernasib lebih baik melawan flu. "Kasus puncak lebih rendah dan total keseluruhan kasus," katanya.
Baca Juga
Bahkan, perintah di seluruh negara bagian yang mewajibkan masker dan memaksa bisnis non-esensial untuk tutup juga digemakan pada tahun 1918. San Francisco, misalnya, mengenakan denda pada individu yang tidak mengenakan masker di depan umum, meskipun akhirnya kebijakan tersebut memicu protes.
Penelitian terbaru ini melacak keberhasilan upaya sosial jarak untuk menekan penyebaran virus Corona juga mengarah ke kesimpulan yang sama.
Namun, perbedaan level penegakan aturan yang dikombinasikan dengan peristiwa Perang Dunia I membuat kondisi setiap negara yang terkena dampak flu Spanyol menjadi beragam. Ini juga lah yang menandai gelombang kedua di AS saat itu.
“Pandemi dimulai di kamp militer. Jadi personil militer mencoba mengendalikan epidemi di kamp-kamp terseburt, kata Navarro, seperti dikutip Washington Post. "Musim gugur 1918 sangat sibuk dengan hal-hal seperti parade Liberty Loan."
Keputusan Philadelphia yang tidak membatalkan parade Liberty Loan pada akhir September menyebabkan 1.000 kematian dalam kurun waktu 10 hari dan menjadikan kota itu salah satu yang paling terpukul oleh epidemi tersebut.
Kota-kota lain seperti Denver mencabut pembatasan pada November bertepatan dengan Hari Gencatan Senjata untuk merayakan berakhirnya perang. Perayaan tersebut justru menyebabkan lonjakan kasus yang lebih mematikan.
"Hampir setiap kota yang kami periksa melaporkan adanya kerumunan besar di pusat kota di toko, kafe, teater, dan arena bowling," kata Navarro. Ia menambahkan bahwa keramaian terjadi pada hari ketika aturan social distancing dicabut.
Sementara itu, Mark Humphries, seorang profesor sejarah di Wilfrid Laurier University mengatakan potensi gelombang kedua Covid-19 yang ditakutkan banyak orang bukanlah seperti yang terjadi saat wabah flu Spanyol.
"Gelombang pertama flu menyebar ke seluruh dunia pada musim semi 1918. Jika Anda melihat jurnal medis saat itu, sebagian besar kasus tidak diketahui,” jelasnya, seperti dikutip ckom.com.
Profesor yang juga penulis The Last Plague: Spanish Influenza dan Politics of Public Health tersebut mengatakan virus kemudian bermutasi dan berubah pada musim panas 1918 dan menjadi jauh lebih ganas
“[Virus] menyebar lebih mudah di antara orang-orang dan cenderung membunuh lebih banyak orang juga. Itulah yang kami sebut gelombang kedua," ungkapnya.
Namun, pola itu tidak bisa diterapkan pada pandemi saat ini. Humphries mengatakan virus Corona secara umum memiliki banyak perbedaan utama dari influenza.
“Kami belum terlalu memperhatikan [virus Corona] sebelumnya. Jadi, masalahnya adalah, kita tidak benar-benar tahu apa yang akan terjadi. Virus ini terkadang berperilaku seperti influenza, namun terkadang tidak. Virus Corona tidak bermutasi secepat influenza,” jelasnya.
Untuk memenuhi persyaratan gelombang kedua, skenario yang sangat spesifik harus diterapkan.
"Gelombang kedua yang sebenarnya adalah situasi di mana virus menyebar ke dalam populasi, kemudian menghilang selama beberapa waktu, sebelum muncul kembali dan kemudian melonjak lagi," kata Humphries.
Sementara itu, Navarro mencatat bahwa perbedaan utama antara wabah flu Spanyol dan virus Corona terletak pada perbedaan lanskap ekonomi, khususnya peran ritel, restoran, bioskop dan usaha kecil lainnya.
“Mereka dapat menutup tempat-tempat hiburan publik dan tidak memiliki dampak yang sama terhadap perekonomian lokal pada tahun 1918 karena sektor manufaktur sangat dominan,” kata Navarro.
Navarro menambahkan, dampak virus Corona akan jauh lebih besar dan lebih parah hari ini daripada wabah tahun 1918 karena saat ini roda ekonomi digerakkan oleh sektor jasa.